Strategi Membangun Kepemimpinan Murid dalam Belajar

Strategi Membangun Kepemimpinan Murid dalam Belajar

 

Bogor –  Sebagai guru, memberikan bantuan belajar yang bertahap dan terukur kepada siswa merupakan sebuah proses yang dikenal sebagai scaffolding. Namun sayangnya, dalam praktik sehari-hari, tidak semua guru memahami atau bahkan menyadari bahwa pendekatan ini adalah kunci menumbuhkan kemandirian belajar, bahkan lebih jauh lagi, kepemimpinan dalam diri siswa.

 

Di Sekolah Guru Indonesia (SGI), menurut Asep Ihsanudin, ketua SGI, pendekatan menggunakan metode scaffolding bukan hal baru; dalam berbagai inisiatif seperti ADAB Project, praktik project-based learning telah menjadi pintu masuk untuk mengenalkan model pembelajaran yang bermakna dan berpusat pada siswa. Namun, yang sering terlupakan adalah proyek hanya akan menjadi rutinitas tanpa daya hidup jika tidak dibingkai dengan scaffolding yang tepat.

 

“Apa Itu Scaffolding dalam Pembelajaran?” tanya Asep. “Secara harfiah, scaffolding berarti perancah—struktur sementara yang dipasang saat sebuah bangunan sedang didirikan. Ketika bangunan sudah kokoh, perancah itu dibongkar. Prinsip yang sama berlaku dalam pendidikan,” jelas Asep.

 

Istilah scaffolding pertama kali digunakan Jerome Bruner, seorang psikolog pendidikan, Konsep tersebut kemudian diperkaya Lev Vygotsky melalui gagasannya tentang Zona Proksimal Perkembangan (Zone of Proximal Development). “Menurut Vygotsky, setiap anak memiliki dua batas: apa yang dapat dilakukan sendiri, dan apa yang dapat dilakukan dengan bantuan orang lain yang lebih mahir. Scaffolding terjadi di antara dua batas itu—di zona perkembangan proksimal—di mana pembelajaran sejati berlangsung,” terang Asep. “Dengan kata lain, scaffolding adalah strategi pemberian bantuan yang disengaja, bertahap, dan sistematis, agar siswa bisa menyelesaikan tugas atau memahami konsep yang pada awalnya sulit mereka lakukan sendiri. Ketika kemampuan mereka meningkat, bantuan itu dikurangi secara perlahan, sampai mereka bisa berdiri sendiri. Inilah dasar dari pembelajaran yang mendorong kemandirian dan, pada akhirnya, kepemimpinan,” tambahnya.

 

Asep mengatakan, di SGI praktik pembelajaran berbasis proyek dikembangkan menjadi model yang dikenal sebagai ADAB Proyek, akronim dari Ajukan pertanyaan, Dampingi investigasi, Ajak berkarya, dan Bagikan hasil. Berbeda dengan model pembelajaran proyek yang hanya mengejar produk akhir, ADAB Proyek lebih menekankan pada proses belajar siswa yang reflektif dan kolaboratif.

 

“Agar proses tersebut berhasil, guru tidak bisa hanya “melepas” siswa untuk bekerja mandiri begitu saja. Sering kali, kita tergoda untuk menyederhanakan makna “merdeka belajar” menjadi “biarkan anak belajar sendiri”. Padahal, kemandirian bukan berarti ditinggalkan. Ia harus dipersiapkan, didampingi, dan dilatih,” kata Asep.

“Inilah pentingnya scaffolding. Ia menjadi jembatan antara ketergantungan dan kemandirian. Ketika siswa diajak mengajukan pertanyaan dalam ADAB Project, guru perlu memfasilitasi rasa ingin tahu mereka dengan teknik pertanyaan terbuka. Saat dampingi investigasi, guru perlu membantu menyaring informasi, bukan memberikan semua jawaban. Pada tahap berkarya, guru berperan dalam memberikan umpan balik tanpa mendikte. Dan ketika siswa membagikan hasilnya, guru membantu mereka membingkai refleksi dan makna dari proses itu. Dengan kata lain, kepemimpinan murid lahir bukan dari ruang kosong, tetapi dari proses edukatif yang sengaja dirancang,” ujar Asep lebih lanjut.

 

Ada satu prinsip mendalam yang dapat ditarik dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, bahwa mendidik berarti menuntun. Kata “tuntun” mengandung makna pendampingan yang penuh kesadaran. Bukan menyeret, bukan membiarkan, tapi mengarahkan tanpa mencabut kemandirian.

 

“Agar scaffolding bisa diterapkan secara nyata, guru perlu menyusun intervensi secara sistematis dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Berikut beberapa strategi praktis yang dapat dilakukan Pemodelan, tunjukkan bagaimana menyelesaikan suatu tugas sebelum meminta siswa melakukannya sendiri; Pertanyaan reflektif, gunakan pertanyaan terbuka yang mendorong siswa berpikir, seperti “Mengapa kamu memilih cara itu?” atau “Apa alternatif lain yang bisa dicoba?”; Visualisasi Konsep, gunakan gambar, grafik, atau peta pikiran untuk membantu siswa memahami konsep abstrak; Bimbingan Kelompok Kecil, bekerja dalam kelompok kecil memungkinkan intervensi yang lebih personal; Penggunaan Alat Metakognitif, misalnya jurnal refleksi, catatan harian belajar, atau penilaian diri; Penurunan Bantuan Bertahap, secara sengaja kurangi intensitas bantuan saat siswa mulai menunjukkan kemampuan mandiri,” papar Asep.

 

Scaffolding tidak harus rumit atau canggih, Asep melanjutjkan, yang penting adalah kesadaran guru untuk hadir secara autentik, membaca kebutuhan siswa, dan merespons dengan strategi yang mendukung pertumbuhan mereka.

 

“Dengan scaffolding yang tepat, kita sedang menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga tangguh, kreatif, dan bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri. Inilah bentuk nyata dari kepemimpinan murid bukan sekadar menjadi ketua kelas, tapi menjadi pemilik utama dari proses belajarnya. Sebagaimana kata bijak, pemimpin yang hebat bukanlah mereka yang membuat orang lain bergantung padanya, tapi yang membuat orang lain mampu berdiri tanpanya,” tutup Asep.

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn

Slide
BAKTI NUSA Siap Lepas 57 Penerima Manfaatnya dalam National Mission Bogor – BAKTI NUSA…
Apresiasi National Mission 2021, Anies Baswedan: “Sebuah Semangat yang Amat Baik” Bogor – Apresiasi…
Will it be Worth It? Will it be Worth It? – Long story short,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *