Saatnya Mengubah Permainan Jadi Disiplin

Saatnya Mengubah Permainan Jadi Disiplin

Oleh: Natalina Manya

 

Saya ditugaskan untuk memegang kelas 4C; kelas yang dianggap paling tidak bisa disiplin, nakal, kacau, dan macam-macam gelar negatif lainnya.

Pertama kali masuk bertatap muka, saya sudah dibuat terpana dengan perilaku dan kata-kata mereka. Ada siswa yang begitu enteng mengucapkan kalimat kasar dan tidak sopan kepada temannya. Sebuah ucapan yang membuat saya sendiri sangat malu mendengarnya.

 

Tentu saja saya ingin melakukan perubahan di kelas. Hasil mengikuti pelatihan manajemen kelas menjadi bekal saya untuk mengubah kegaduhan di kelas menjadi antusiasme siswa. Saya berupaya merangkul siswa yang dicap ‘nakal’ dengan hati. Tidak mesti kekerasan bisa diatasi dengan kekerasan pula.

 

Yang pertama saya lakukan adalah membuat dan menegakkan peraturan. Peraturan ini berlaku untuk seluruh siswa 4C. Berikutnya, proses pembelajaran di kelas tidak akan berjalan dengan baik jika hanya dilakukan dengan monoton dan serius. Saya harus bisa bersenda gurau dan memancing tawa siswa. Media audio-visual saya jadikan peranti ampuh untuk mengusir rasa jenuh dan kantuk siswa.

 

Agar siswa betah duduk dengan ceria, saya memadukan pembelajaran dengan bermain. Langkah ini bertujuan supaya perhatian seluruh siswa, termasuk yang kerap berulah tertuju ke pembelajaran yang saya berikan. Alat-alat peraga harus selalu saya sediakan untuk ‘menaklukkan‘ mereka. Alat peraga yang menarik dan variatif tersebut saya dapatkan hasil dari berselancar di internet. Kebetulan saya sudah bisa menggunakan laptop, jadi apa salahnya jika mencari ilmu dan inspirasi melalui teknologi.

 

Sebagai seorang guru, tentunya saya tahu betapa anak-anak sering memerlukan disiplin yang disertai kasih sayang, perhatian, dan kepedulian. Menegakkan kedisiplinan tetap harus mengindahkan kehatihatian. Ketika urat syaraf menegang, pikiran kacau, emosi bercampuraduk, kemarahan kita pun bangkit. Pada saat-saat seperti ini, guru sangat perlu ketenangan dan berdoa, kemudian berpikir dengan jelas dan mengendalikan diri apabila akan memutuskan untuk mendisiplinkan siswa.

 

Selain tidak menghukum pada saat marah, guru-guru seharusnya paham bahwa pada dasarnya anak-anak ingin suasana yang menyenangkan. Ketika mengalami kegagalan, melakukan kesalahan atau ketidaksempurnaan, siswa tetap perlu dimanusiawikan. Berhenti untuk berpikir sejenak sebelum menindak keras siswa biasanya akan menolong saya dalam menemukan penyebab sebenarnya dari ke-jengkelan saya.

 

Anak-anak biasanya belajar melalui pujian dan dorongan. Untuk itulah, guru seharusnya hanya berkata positif, kata-kata yang baik. Pujian adalah bagian dari disiplin. Maka, perhatikan alasan-alasan khusus untuk dapat mengucapkan terima kasih dan memuji anak-anak.

 

Guru-guru juga harus bisa mengalihkan perhatian anak yang sedang dalam keadaan emosi, kacau, dan galau. Mengalihkan perhatian dapat membantu guru untuk menghindarkan sesuatu yang tidak diinginkan, semisal kata-kata yang kotor dan tidak sopan dari siswa.

 

Saya juga mendorong anak-anak agar tetap sabar, rendah hati, mengalah demi kebaikan, dan selalu menghargai orang lain, serta tetap ikut pada aturan yang berlaku. Dengan melakukan semua ini, hidup mereka akan terasa lebih tenang, senang, dan bahagia, serta kerukunan dan kebersamaman pun semakin baik. Bila ini terjadi, tentunya bakal menggairahkan minat belajar siswa.

 

Tidak seorang pun mengatakan disiplin itu mudah. Namun, displin itu sudah pasti berguna. Puji syukur, saya telah melihat pertumbuhan dan perubahan yang luar biasa di kelas. Bila awalnya anak-anak didik saya kurang bergairah belajar, kini mereka lebih semangat. Siswa yang tadinya kurang disiplin, kini berangsur mampu disiplin. Semua berjalan seiring dengan berjalannya waktu.

Slide

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *