Sekolah LIterasi Indonesia: Gerakan Filantropi Islam dalam Pemberdayaan Pendidikan Berbasis Literasi (1)
Bogor – Istilah “filantropi”, yang dalam bahasa Indonesia sering dimaknai sebagai “kedermawanan” atau “cinta kasih terhadap sesama”, meskipun belum sepenuhnya dikenal secara luas oleh masyarakat umum, sejatinya telah lama terwujud dalam praktik kehidupan sosial masyarakat Islam Indonesia melalui instrumen keagamaan seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Dalam konteks ini, menurut Muhammad Shirli Gumilang, Ketua Sekolah Guru Literat GREAT Edunesia, filantropi dipahami sebagai konsep filosofis yang merefleksikan relasi antar-manusia dan menjadi wujud konkret dari rasa cinta serta kepedulian individu atau kelompok terhadap sesamanya. Tradisi memberi atau berderma tidak hanya mencerminkan nilai-nilai simbolik, tetapi juga menggambarkan struktur sosial yang kompleks antara kelompok kaya dan miskin, kuat dan lemah, beruntung dan kurang beruntung, serta antara mereka yang memiliki kekuasaan dan yang termarginalkan. Seiring perkembangannya, makna filantropi mengalami perluasan dari sekadar aktivitas karitatif menjadi pendekatan transformatif yang bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial kolektif dan berkelanjutan, baik melalui kontribusi material maupun non-material.
“Filantropi Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan, terutama sejak era Reformasi. Jika sebelumnya praktik ini lebih banyak berfokus pada bantuan langsung yang bersifat konsumtif dan karikatif,” jelas Shirli. “Kini banyak lembaga filantropi Islam yang mengarahkan programnya pada pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan dan jangka panjang. Perubahan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari sekadar “memberi” menjadi “memberdayakan”,” tambahnya.
Dikutip dari Hilman Latief (2013), munculnya berbagai program yang diinisiasi lembaga filantropi Islam menunjukkan adanya dinamika baru dalam praktik filantropi. Program-program tersebut tidak lagi terbatas pada santunan sesaat, tetapi juga mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi produktif, dan penguatan kapasitas masyarakat.
Pergeseran paradigma gerakan filantropi menjadi gerakan pemberdayaan memberikan ruang inovasi bagi lembaga filantropi dalam birokratisasi dan moderenisasi pengembangan program. Modernisasi dan birokratisasi dalam pengelolaan filantropi Islam di Indonesia telah membawa konsekuensi penting terhadap perluasan cakupan aktivitas filantropi. Jika sebelumnya kegiatan filantropi lebih banyak dipahami sebagai bentuk kasih sayang atau bantuan karitatif kepada kelompok miskin, kini praktik tersebut telah berkembang menjadi bentuk pelayanan sosial yang lebih sistematis dan multidimensional.
Hilman Latief (2011) mencatat bahwa transformasi ini tampak dari semakin terstrukturnya program-program filantropi yang mencakup sektor-sektor strategis seperti layanan kesehatan, pemberian beasiswa pendidikan, penanggulangan bencana, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil. Perubahan ini tidak hanya mencerminkan pergeseran paradigma dari sekadar memberi menjadi upaya menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan, tetapi juga menunjukkan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan lembaga filantropi. Dalam konteks ini, filantropi Islam tidak lagi berdiri sendiri sebagai aktivitas keagamaan, melainkan menjadi bagian dari gerakan sosial yang terhubung erat dengan pembangunan masyarakat sipil dan penguatan institusi pendidikan Islam.
Dalam dinamika perkembangan filantropi Islam di Indonesia, birokratisasi dan modernisasi telah mendorong perlunya pendekatan baru yang lebih adaptif dan strategis, sebagaimana dikemukakan oleh Helmut K. Anheier dan Diana Leat (2006) melalui konsep “filantropi kreatif” yang memadukan pendekatan karitatif berbasis pelayanan sosial dengan pendekatan saintifik yang berorientasi pada riset dan perubahan struktural. Pendekatan ini menekankan bahwa keberhasilan filantropi tidak hanya diukur dari besarnya bantuan yang diberikan, tetapi juga dari dampaknya dalam menciptakan transformasi sosial yang berkelanjutan.
Dalam konteks perkembangan filantropi Islam di Indonesia, keterkaitan antara aktivitas filantropi dan sektor pendidikan menjadi semakin nyata seiring dengan pergeseran paradigma dari pemberian karitatif menuju pemberdayaan yang berkelanjutan. Filantropi tidak lagi dipahami semata sebagai bentuk kasih sayang terhadap kelompok miskin, tetapi telah berkembang menjadi instrumen strategis dalam pembangunan sosial, termasuk dalam penguatan akses dan kualitas pendidikan. Melalui pendekatan “filantropi kreatif” salah satunya melalui penyediaan beasiswa, pendampingan sekolah, pelatihan guru, dan program penguatan literasi. ransformasi ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi ruang strategis bagi lembaga filantropi untuk menanamkan nilai-nilai keadilan sosial, memperkuat kapasitas masyarakat, serta menciptakan generasi yang lebih mandiri dan berdaya saing.
Keterkaitan antara filantropi dan pendidikan, salah satu contoh konkret dari kontribusi filantropi Islam dalam sektor pendidikan adalah program Sekolah Literasi Indonesia (SLI) yang diinisiasi oleh Dompet Dhuafa. Sejak tahun 2016, SLI hadir dengan semangat membangun budaya literasi yang kuat dan menyeluruh di tiga ranah utama ekosistem pendidikan. Program ini merupakan bagian dari upaya strategis untuk menumbuhkembangkan budaya literasi di lingkungan pendidikan formal, nonformal, dan informal, dengan tujuan membentuk pribadi yang berakhlak mulia dan berkualitas.