Semua Bisa Diwariskan, Kecuali Ketakwaan
Manusia diciptakan sebagai salah satu penerima kehidupan, bagi seseorang yang beragam muslim, setidaknya dalam hidup manusia mengemban tugas yang harus dijalaninya, hal ini disebutkan dalam quran, tugasnya sebagai hamba untuk beribadah kepada rabb-Nya, sebagai khalifah, pemimpin bagi dirinya serta sebagai da’i yang mengajarkan hikmah kepada lingkungan sekitarnya.
Hakikat amanah sejatinya tidak pernah diminta dan terdapat pertanggung jawaban atas amanah setelahnya, begitu pula kehidpan dunia ini, kita tidak pernah meminta dilahirkan ke dunia, tidak pernah memohon untuk menjadi manusia, dilahirkan pada kondisi kekurangan, dikelilingi lingkungan yang buruk, ataupun juga sebaliknya, namun satu hal yang pasti bahwa ketika kita telah dilahirkan maka kita mendapatkan amanah kehidupan yang pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan pada suatu masa yang sudah ditentukan.
Dalam menilai hal ini, Allah tentu sangat adil, itulah mengapa Allah mengatakan sebaik-baik kamu adalah yang paling bertaqwa disisi-Nya. Di mana pun kita, apapun profesi kita semuanya mendapati amanah yang sama, sama-sama diberikan tugas untuk menjadi hamba sehingga bukan jaminan bahwa seseorang dengan rumah yang bagus akan menjadi salah satu penghuni surga pula, bukan berarti pula orang yang tak berpunya tak akan menduduki surga-Nya Allah.
Namun, mereka yang menjadi pemenang kehidupan ialah dia yang berhasil meraih sebaik baik taqwa di sisi Allah, memiliki ketulusan hati yang bening, keikhlasan dan kelapangan hati yang membuat sesiapapun tenang bersamanya , wajah yang teduh, mulut yang senantiasa berdzikir menyebut nama Allah dalam setiap kesempatan, maka orang orang seperti itulah yang akan memenangkan kehidupan, bukan dia yang paling banyak gelar, namun nihil manfaat, bukan pula dia yang kelihatan rendah hati namun sejatinya ia meremehkan orang dalam diri.
Ada satu hal yang menarik dalam soal ini, agama bisa diwariskan namun ketaqwaan tidak, kita simak kembali kisah para nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an, ada nabi ibrahim yang terlahir berayahkan seorang pembuat berhala, namun ia tetap berpegang teguh pada tauhid yang satu, ada pula kan’an putra Nabi Nuh yang menolak ajakan ayahnya ketika banjir bandang melanda kaumnya. Ada pula contoh keluarga Nabi Ya’kub, kesebelas anaknya berkomplot untuk mencelakakan saudaranya sendiri, yaitu Nabi Yusuf.
Ya memang itu cukup berbeda bagi orang yang tidak mendapatkan privilege serupa, namun yang harus disadari ialah Allah juga menilai usaha kita dalam menunaikan amanah kehidupan, itulah mengapa pahala yang diberikan kepada hambanya sepenuhnya ialah hak prerogatif Allah, menjadi rahasia-Nya lah siapa yang memiliki amal terbaik.
Momentum Ramadan ini ialah waktu terbaik yang harus dimanfaatkan, kembali mencari jati diri, menambah keimanan, bulan yang Allah turunkan untuk mengembalikan kita merenungi sejatinya asal mula kita dan apa yang menjadi tujuan akhir kita, bulan yang membantu membiasakan kita dengan berbagai rutinitas harian yang dapat menyeimbangkan ruhani jasadi dan fikri kita sehingga pada akhirnya kita meraih taqwa sebenar-benarnya. Semoga momentum ini dapat menjadikan kita semua menjadi pemenang kehidupan dengan predikat hamba yang bertaqwa di sisinya, la’allakumm tattaquun. Wallahu a’lam