Reinkarnasi Kepemimpinan, Mungkinkah?
Oleh: Bagas Pratama, Kontributor
Indonesia berdiri sebagai sebuah entitas negara, setelah ratusan tahun lamanya dijajah dan dijarah. Kurang lebih 1 abad pula telah disemai bibit-bibit kepemimpinan di negara yang dikaruniai kekakayaan berlimpah ini. Ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 sebagai simbol dimulainya ‘musim’ pergerakan yang kemudian menjadi katalisator gerakan, kemudian diikutilah oleh gelombang-gelombang kepemimpinan nasional setelahnya.
Sebut saja, Bapak Proklamasi, yang hingga kini dielu-elukan sebagai pemimpin paling kharismatik yang pernah ada di negeri ini, ialah Soekarno, beliau lahir dan dikader sebagai pemimpin pada masa-masa ini, dari tangan dingin sang mentor, H.O.S. Tjokroaminoto. Kala itu, diskursus yang hinggap pada anak-anak muda berusia dua puluh tahunan melebihi usianya -apabila dibandingkan dengan masa kini.
Modal dan Kondisi Kepemimpinan Awal Kemerdekaan
Apabila kita kaji masa-masa kepemimpinan pra kemerdekaan dan beberapa tahun setelahnya dari kacamata model kepemimpinan idealnya Dr. Larry Stout, seorang akademisi di bidang kepemimpinan yang karya-karyanya banyak dirujuk di berbagai belahan dunia, maka akan kita dapati masa-masa pra dan awal kemerdekaan adalah sebaik-baik momentum kepemimpinan yang pernah singgah di bangsa ini.
Dalam bukunya Perubahan Model Kepemimpinan Ideal, Stout menyebut bahwa kepemimpinan mestilah menyiratkan dan memulai perubahan, membawa yang dipimpinnya berubah ke arah yang lebih maju atau lebih baik. Dia yang meneropong jauh ke depan melihat visi kemudian mentransfer visinya kepada para pengikutnya itulah pemimpin.
Karakter mau menerima tantangan dan tidak pernah berhenti memikirkan perubahanlah yang membentuk membentuk ciri kepemimpinan pada masa itu. Singkatnya, pemimpin tidak pernah nyaman dengan status quo.
Pada masa-masa prakemerdekaan, ruang-ruang pemikiran dan diskusi selalu disuguhi dengan gagasan perubahan dan semangat revolusioner di berbagai sisi. Semua elemen menghendaki perubahan nasib. Ia yang dengan tanggap mampu menangkap impian terdalam orang banyaklah yang terlahir sebagai pemimpin. Dimana keresahan-keresahan disulapnya menjadi bahan bakar kepemimpinannya, sehingga gagasan-gagasan yang bermunculan selalu disambut dengan sangat antusias oleh khalayak.
Perubahan itu sulit secara psikologis, dan individu-individu hanya mau berubah ketika mereka melihat suatu keuntungan. Beruntungnya, kondisi kepemimpinan pada masa-masa itu mendukung penuh perubahan yang digagas. Dalam posisi secara de facto sebagai pemimpin, Soekarno dan tokoh nasional lainnya memiliki orang-orang yang merasakan emosi yang sama dengannya.
Penanaman visi itu juga setelahnya ditambah dengan nilai-nilai luhur yang terpancar dalam diri sang pemimpin sendiri. Nilai luhur sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan inilah yang secara kuat menopang visi global kepemimpinan saat itu. “Tanpa visi yang memadai, nilai hanya akan mengantarkan manusia menjadi orang baik. Sebaliknya, visi tanpa nilai yang memadai, selamanya hanya akan berkutat di jalan yang tidak konsisten” (Stout, 2006:142).
Modal berikutnya yang dipupuk secara berkelanjutan oleh kepemimpinan masa pra dan awal kemerdekaan ialah karakteristik-karakteristik personal berupa kebijaksanaan dan keberanian. Kebijaksanaan adalah apa yang selalu dipertontonkan sebagai ciri khas seorang yang dianggap layak memimpin.
Kita melihat kebijaksanaan dan keberanian melekat kuat pada tokoh-tokoh awal kemerdekaan republik ini, yang secara imajinatif terlukiskan lewat cerita-cerita sejarah. Keberanian boleh jadi timbul sebagai modal utama kepemimpinan, yang tanpanya bisa saja visi kepemimpinan mustahil terwujud.
Tapi tanpa menyandingkannya dengan modal yang sederajat -kebijaksanaan- keberanian hanya akan mengantarkan kepada kehancuran lebih cepat. Kebijaksanaan dan keberanian telah dilihat sebagai dua sisi mata uang yang sama. Kedua modal kepemimpinan ini saling bertautan tak terpisahkan. “Pemimpin-pemimpin yang bagus bertumbuh dalam kebijaksanaan mereka dengan memiliki inti keberanian yang solid” (Stout, 2006:148).
Ketika para pemuda yang dirasuki keberanian mendesak golongan tua agar kemerdekaan segera diproklamirkan, sebenarnya golongan tua pun memiliki segudang keberanian yang telah sangat lama disemayamkan yang bisa saja ia menuruti kehendak kaum muda, namun senjata kebijaksaanlah yang mampu mengimbangi dan melahirkan momentum yang tepat untuk semua pihak.
kemudian, kepercayaan dan kejelasan suara lah yang menjadi modal penentu kuatnya akar kepemimpinan dalam diri masyarakat saat itu. Sebagai karakteristik interpersonal, kepercayaan juga terpaut kuat dengan kebulatan suara. Tanpa kepercayaan, tak seorang pun mau mendengarkan sang pemimpin. Namun kepercayaan yang tidak dilandasi kejelasan suara, mustahil sang pemimpin mampu menyampaikan pesannya secara sempurna dan menghipnotis jutaan khalayak.
Soekarno dan tokoh-tokoh nasional lainnya pada masa itu memumpuk kepercayaan yang tinggi pada masyarakat hingga kantong-kantong terpencil sekalipun. Siapa yang tidak kenal bapak kemerdekaan itu, yang namanya menggema karena sebelum muncul sebagai proklamator ia telah lebih dulu membumikan diri.
Di samping itu nilai integritas juga yang semakin menguatkan kepercayaan pada kepemimpinan pra hingga awal kemerdekaan. “Alasan kepercayaan terbangun adalah karena sang pemimpin melakukan dan menghidupi apa yang dikatakannya” (Stout, 2006:149). Suara yang jelaslah yang kemudian menyempurnakan modal kepemimpinannya. Pesannya jelas dan sampai kini masih terngiang: “Merdeka atau mati”.
“Kebijaksanaan, keberanian, kepercayaan dan suara mewakili profil psikologis sang pemimpin, dan visi serta nilai-nilai mewakili perspektif filosofis sang pemimpin” (Stout, 2006: 47). Jika enam modal tersebut ditanam pada kondisi kepemimpinan yang pas, maka lahirlah kepemimpinan ideal. Terpenuhinya berbagai modal secara sempurna pada masa-masa awal kemerdekaan itu bersesuaian pula dengan kondisi kepemimpinan pada masa pra dan awal kemerdekaan.
Potret Degradasi Kepemimpinan
Selama masa berdirinya Indonesia sebagai entitas negara, telah banyak cobaan kepemimpinan yang dihadapi yang kemudian menimbulkan kondisi-kondisi baru dalam kepemimpinan. Presiden Republik Indonesia telah mengalami pergantian sebanyak 7 kali sejak kemerdekaannya pada 1945. Domain-domain kepemimpinan pun diperluas hingga ke daerah-daerah dalam bentuk otonomi, sehingga melahirkan aktor-aktor lokal yang juga berperan besar dalam pembangunan.
Namun sayangnya, semakin banyak domain kepemimpinan di republik ini, semakin banyak pula ‘pemimpin’ yang terpilih tanpa memiliki modal-modal kepemimpinan ideal. Lihat saja pada perspektif filosofis sang pemimpin, beberapa waktu terakhir ini, nilai-nilai dan visi bukanlah yang pertaruhan utama saat kontestasi pemilihan pemimpin baru.
Materialisme telah mendarah daging pada masyarakat akar rumput. Selain itu, sebagai warisan kolonial, mental pangreh dan ambtenaar masih melekat kuat dalam diri bangsa ini. Pendekatannya selalu menyoal previllege, hak istimewa dan kekuasaan, dan itu kompak dipertontonkan oleh elit birokrasi yang sudah bak raja-raja kecil maupun masyarakat awam yang mendewakannya.
Anehnya, kondisi itu justru terjadi pada saat kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin tengah pada titik terendahnya, bersamaan terdegradasinya kebijaksanaan sang pemimpin. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Februari 2021 menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Joko Widodo berada di bawah gubernur dan wali kota/bupati.
Pada kondisi yang lain lagi ada pula kepemimpinan yang tidak memiliki kesatuan suara, sehingga pesan-pesan kepemimpinan menjadi bias dan terkadang masyarakat bahkan tidak merasa memiliki pemimpin.
Di satu sisi, pendidikan politik yang bersih gagal diberikan kepada masyarakat. Demokrasi yang katanya melahirkan kedaulatan rakyat pada akhirnya hanya menjadi demokrasi nasi, dimana pemilu hanya menjadi ajang elit berlomba-lomba melakukan apapun demi mendapatkan dukungan sebagai sumber legitimasi semu.
Menanti Reinkarnasi Kepemimpinan Ideal
Bangsa ini sudah sangat rindu akan kondisi kepemimpinan ideal, dimana modal-modal kepemimpinan ditanam dan tumbuh subur pada kondisi-kondisi kepemimpinan yang juga mendukung. Saat ini, krisis kepemimpinan bangsa Indonesia sudah muak menjadi tontonan masyarakat.
Degradasinilai dan moral kepemimpinan yang kian menggerus martabat bangsa sudah sepatutnya direm dan digantikan dengan kepemimpinan ideal yang sebentar lagi akan kembali ‘panen raya’, yang euforianya dirasakan sama seperti momen proklamasi kemerdekaan 76 tahun lalu.
Menjadi catatan khusus bagi pemuda dan mahasiswa saat ini untuk menyiapkan serta menyambut momentum kepemimpinan sebagai aktor utama. Maka hal terbaik yang bisa dilakukan sebagai upaya menyambutnya adalah menyiapkan dengan apik modal-modal kepemimpinan: Visi, nilai, keberanian, kebijaksanaan, kepercayaan dan suara.
Gelanggang kepemimpinan terbuka lebar dan pemuda serta mahasiswa hari ini memiliki kebebasan penuh untuk terlibat aktif di dalamnya. Adapun sebagai medan latihan dan pengejawantahan ide, tersedia amat banyak kantong masyarakat yang dapat dijadikan ladang pembinaan guna mengasah nilai-nilai tersebut.
Kesimpulannya, selama menanti reinkarnasi kepemimpinan ideal, marilah kita bertanya, sudahkah kita memantaskan diri untuk menjadi pemimpin. Sebab cepat atau lambat kitalah yang memikul beban kepemimpinan itu dan alangkah lama penderitaan ibu pertiwi jika pada saat jatuh tempo nanti, kita tak menyiapkan dengan matang modal-modal kepemimpinan.
Referensi:
- Stout, Larry. 2006. Perubahan Model Kepemimpinan Ideal. Yogyakarta: Lautan Pustaka.
- Khatimah, Husnul. 2021. “Hasil Survei: Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Jokowi di Bawah Gubernur”, https://www.google.com/amp/s/amp.ayojakarta.com/read/2021/02/22/31467/hasil-survei-tingkat-kepercayaan-publik-terhadap-jokowi-di-bawah-gubernur, diakses pada 15 Juni 2021 pukul 18.45