Pentingnya Berdialog dengan Siswa
Oleh: Ari Kholis Fazari, Guru SMART Ekselensia Indonesia
Cerita ini tentang pengalaman saya selaku wali kelas di SMART Ekselensia Indonesia. Suatu pagi saya mendapat laporan dari wali asrama bahwa salah seorang siswa saya tidak mau sekolah.
“Penyebabnya apa, ya, Pak?” tanya saya pada wali asrama.
“Dia selalu ingat rumah, kampung halamannya. Dia selalu ingat ibunya.”
“Oh, begitu, ya, Pak.”
Selepas kerja, pada hari yang sama, saya ke asrama menemui siswa tersebut. Saya coba mengajaknya mengobrol.
Tapi, jawabannya hanya satu, yaitu diam seribu bahasa. Saya tahu ia tidak mungkin langsung percaya dengan saya sehingga ketika saya menemuinya, ia hanya diam. Akhirnya, saya pun pulang dengan tangan hampa.
Keesokan harinya saya mencoba lagi. Kali ini saya mencari tahu ke teman-teman guru yang dekat dengannya supaya saya bisa menggali banyak informasi. Dengan banyak mengetahui informasi tentangnya, saya bisa membantunya kembali bersemangat ke sekolah.
Hari itu juga ia masih dengan kondisi yang sama. Ia tidak mau sekolah, dan ingin pulang ke kampung halamannya tanpa alasan yang jelas. Saya pun tidak putus asa membujuknya untuk kembali ke sekolah.
Saya menggali lagi informasi ke beberapa guru yang bekerja lebih lama dari saya di SMART.
“Kenapa ya siswa saya itu tidak mau sekolah?” kembali saya mengajukan pertanyaaan yang sama.
“Hal yang wajar terjadi di sini, Taz. Itu adalah masa ia beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Wajar jika terjadi pada siswa kelas 1,” tukas salah seorang guru.
Jawaban dari rekan guru itu membuat saya bersemangat.
Hanya soal adaptasi. Tetapi, dalam hati saya bergemuruh: harus saya mulai dari mana mengatasinya?
Jangankan untuk kembali sekolah, mengajaknya mengobrol saja ia bergeming.
Sehari, dua hari, sampai satu minggu, belum ada cara yang tepat untuk mendekati anak ini. Tiba-tiba saya
teringat perkataan seorang teman bahwa segala sesuatu itu tergantung ridha orang tua kita. Jadi, dalam hal ini doa orangtua sangat berpengaruh pada kesuksesan anaknya.
Saya pun bertanya kembali ke salah seorang wali asrama. “Penyebab dia tidak mau sekolah apa ya, Pak?”
“Dia selalu ingat ibunya, Taz,” jawab seorang ustaz.
Mendengar jawaban itu, saya langsung berpikir, mungkin ketika ia berangkat ke SMART, ibunya belum sepenuhnya ridha melepas kepergian anaknya.
Saya pun langsung menghubungi ibunya. Kemudian saya, selaku wali kelas, menjelaskan persoalan anaknya di SMART.
“Bu, anak Ibu sudah beberapa minggu ini tidak mau sekolah.”
“Iya, Pak, saya juga sudah dapat informasi ini dari anak saya melalui telepon,” ibunya menjawab sambil terisak menahan tangis.
“Bu, dia tidak mau sekolah karena selalu ingat akan kampung halaman, dan dia selalu ingat Ibu.”
Sebelum berbicara dengan ibu anak itu, saya selalu berkonsultasi dengan guru Bimbingan Konseling (BK). Dari guru BK-lah saya mendapatkan data psikologis siswa tersebut, seperti hasil psikotes.
“Bu, cobalah untuk mengikhlaskan dia untuk sekolah di sini. Karena doa Ibulah yang bisa mengantarkan kesuksesan anak Ibu. Anak Ibu cerdas. Akan tetapi, semuanya tergantung Ibu, yang bisa Ibu lakukan sekarang berdoa, dan saya pun di sini berusaha semampu saya agar bisa membimbing putra Ibu.”
Ibunya pun menjawab, “Iya, Pak, memang salah saya juga, saya selalu ingat dia.”
“Nah, mungkin itu, Bu, yang menjadi penyebabnya. Jadi, mulai sekarang, coba Ibu relakan kepergiannya untuk sementara ini, dan berdoa untuk kesuksesan dirinya.”
“Baik, Pak, akan saya coba.”
Keesokan harinya saya pun berupaya kembali membujuk anak itu untuk bersekolah.
Siang itu, saya ke asrama ditemani guru BK. Sampai di asrama, kami mencarinya. Terlihat ia sedang menangis di sudut koridor asrama sambil memegang buku. Saya mendekatinya. Ia sebenarnya tahu kehadiran saya. Tapi, sepertinya ada penolakan dari dalam hatinya sehingga ia langsung diam sambil berpura-pura melihat bukunya.
Saya coba mengajaknya bicara, sekadar menanyakan kabar. Seperti biasa, ia hanya diam. Pandangan mata saya beralih ke bukunya. Buku yang dipegangnya buku Fisika.
Sepertinya ia sangat suka dengan pelajaran tersebut. Tiba- tiba saya mendapatkan ide.
“Lagi belajar apa, Dik?”
Ia tidak menjawab dengan lisannya, hanya menunjukkan bukunya dan bab yang sedang dipelajarinya.
Saya pun duduk di sebelahnya. “Kamu sangat suka pelajaran Fisika, ya, Dik?” Anak itu hanya mengangguk.
“Wah, hebat, ya, tapi sayang kalau kemampuan dan kesukaan kamu harus berhenti di sini.”
Dia pun menatap saya. Saya pun mencoba membuka diri.
“Saya juga lulusan Teknik, Dik, Teknik Elektro, tepatnya. Dasar dari beberapa kuliah teknik adalah Fisika.”
Dia masih menatap saya.
“Kamu asalnya dari mana?”
Saya sebenarnya tahu jawabannya, tapi sengaja mengajukan pertanyaan ini untuk melancarkan “aksi” berikutnya.
Benar! Ia akhirnya menjawab untuk pertama kalinya ke saya, “Saya dari Sumatera Barat, Pak.”
“Bukannya di Sumatera itu banyak sekali pertambangan?” Ia mengangguk.
“Wah, harusnya kamu bangga bisa sekolah di sini! Bakat kamu bisa tersalurkan. Setelah kamu selesai sekolah di sini, kamu bisa kuliah di Teknik karena sekolah ini membantu kamu sampai masuk kuliah. Kalau kamu memaksakan diri untuk pulang, apa kamu bisa sekolah seperti sekolah di sini? Guru-guru di sini sangat perhatian dan baik ke kamu.” Ia terdiam.
“Sekolah ini siap mengantarkan kamu ke tempat kuliah yang kamu inginkan. Apalagi di Sumatera banyak sekali pertambangan. Kamu bisa kuliah di Teknik Pertambangan, Teknik Geologi, atau Teknik Perminyakan karena dasar Fisika kamu bagus. Selepas kuliah, kamu bisa kembali ke rumah kamu, dan insya Allah posisi kamu ketika bekerja di sana akan lebih dihargai karena keahlianmu. Tetapi, kalau kamu berhenti di sini, dan kamu pulang, apa yang kamu dapat? Kamu tidak akan dapat apa-apa. Selepas sekolah, apakah kamu bisa kuliah? Apakah sekolah kamu akan sama dengan sekolah di sini, yang mencarikan siswanya beasiswa?” Ia masih bungkam.
“Cobalah pikirkan lagi, Dik, kamu punya kesempatan untuk sukses. Jangan disia-siakan.”
Ia tetap membisu, tidak sepatah kata pun keluar dari lisannya. Saya pun pamit padanya.
Saya terkejut bercampur senang. Anak itu tampak di sekolah bersama teman-temannya. Berminggu-minggu tidak mau sekolah, akhirnya ia kembali seperti anak-anak SMART. Ceria belajar dan bermain dengan teman temannya. Ia juga sudah tidak canggung lagi mengobrol dengan saya.
Saya tahu, ia anak yang cerdas. Terbukti, pelajaran yang ditinggalkan selama ia mogok sekolah mampu dikejarnya. Ia tidak lagi rapuh hanya karena merindukan keluarganya di rumah, terutama sang ibu.
Saya bersyukur atas perubahan yang dialaminya. Sesyukur saya mengenang kisah yang terjadi lima tahun silam pada Mitra Pargantian. Mitra tidak hanya membahagiakan kami di sini dengan kelulusannya di SMART, tetapi juga mewujudkan impiannya berkuliah di Teknik. Memilih untuk merantau menuntut ilmu di pulau seberang di Teknik Geologi Universitas Padjadjaran. Sebuah jalan kesuksesan tengah dirintisnya, dengan tetap dibersamai ridha orang tuanya.