Pemerintah Bangun Sekolah Rakyat, IDEAS Beri Empat Catatan  

Pemerintah Bangun Sekolah Rakyat, IDEAS Beri Empat Catatan

 

Jakarta – Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) GREAT Edunesia menyatakan kemiskinan bukan sekedar problem ekonomi, namun juga wujud dari ketidakberdayaan dalam beragam aspek kehidupan.

 

Direktur Advokasi IDEAS, Agung Pardini mengemukakan agar bisa keluar dari lingkaran ketidakberdayaan ini, keluarga miskin tidak cukup ditunjang oleh bantuan sosial, namun juga diberi intervensi pemberdayaan, dan anak-anak mereka diberi jaminan untuk mendapat hak yang sama di bidang pendidikan dan layanan kesehatan.

 

“Sebagai sebuah investasi sosial, dengan penyediaan sekolah-sekolah yang berkualitas, anak-anak dari keluarga miskin kelak berpotensi memiliki pendapatan yang jauh lebih tinggi dari orang tuanya. Artinya, pendidikan yang berkualitas efektif untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi,” kata Agung kepada Kedai Pena.

 

Seperti diketahui, pada tahun ajaran baru 2025-2026 ini, Pemerintah melalui Kementerian Sosial tengah bersiap untuk membuka Sekolah Rakyat sebanyak 63 titik pertama dari 100 lokasi yang tengah dipersiapkan di tahun ini. Sekolah terpadu jenjang SD, SMP, dan SMA ini diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang berada dalam Desil 1 dan 2 DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional).

 

“Model pendidikan seperti Sekolah Rakyat sebetulnya bukan ikhtiar baru karena jauh sebelumnya telah banyak berdiri sekolah-sekolah unggul berasrama yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga filantropi dan juga korporasi yang dikhususkan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu,” ucapnya.

 

Agung menyebut mewujudkan sekolah unggul berkualitas yang diimpikan bisa mengentaskan bahkan menuntaskan kemiskinan khususnya pada kelas miskin ekstrem akan menghadapi banyak tantangan bahkan resiko kegagalan.

 

“Untuk itu, kami, IDEAS menyampaikan empat catatan atas pendirian Sekolah Rakyat, agar pemerintah bisa memitigasi sejak dini beberapa tantangan dan faktor-faktor resiko tersebut,” ucapnya lagi.

 

Pertama, pengelolaan sekolah unggul berasrama termasuk ke dalam pendidikan berbiaya tinggi. Hal ini bisa dilihat paparan Menteri Sosial di Komisi VIII DPR-RI pada Selasa (20 Mei 2025) yang menyebutkan bahwa biaya belajar masing-masing siswa yang per tahunnya mencapai Rp 48,2 juta. Selain harus ditopang oleh jaminan ketersediaan anggaran tahunan yang sangat besar, keberadaan Sekolah Rakyat juga harus menjamin kualitas lulusan bisa jauh lebih baik dari sekolah-sekolah biasa yang kebanyakan hanya ditopang oleh pendanaan dari BOS atau Bantuan Operasional Sekolah.

 

“Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam ekonomi pendidikan, yakni “semakin besar investasi pendidikan, maka pengembalian sosialnya harus semakin tinggi”. Bukan besaran biayanya, tapi lebih kepada seberapa besar kualitas output dan outcome-nya. Maka kebocoran pembiayaan pendidikan bukan hanya disebabkan oleh korupsi dan tata kelola yang salah, namun gagal untuk menjamin mutu lulusan sesuai dengan kurikulum dan perencanaan sekolahnya,” kata Agung.

 

Kedua, IDEAS menyambut baik kehadiran guru-guru alumni PPG (Pendidikan Profesi Guru) sebagai pendidik di Sekolah Rakyat. Walaupun relatif berusia muda dengan pengalaman mengajar yang belum panjang, namun kompetensi mereka telah teruji selepas mengikuti program pendidikan selama dua semester di kampus-kampus keguruan terbaik.

 

“Namun di sekolah yang berisi anak-anak dari desil 1 dan 2 DTSEN tantangannya tidak akan sama dengan sekolah-sekolah biasa. Tugas utama pendidik di Sekolah Rakyat justru bukan pada aspek pengajaran di kelas atau bimbingan sesuai talenta mereka, namun utamanya akan berperan sebagai pengasuh bagi anak-anak dari berbagai latar belakang keluarga miskin dengan segala problematikanya. Sebagai “pengganti” orang tua, secara kepribadian guru-guru Sekolah Rakyat yang berasrama ini harus menunjukkan ketulusan dalam berempati dan memiliki rasa welas asih yang besar,” urainya.

 

Ketiga, sebagian dari anak-anak dari kelompok masyarakat desil 1 dan 2 DTSEN pernah menghadapi persoalan kekurangan asupan gizi kronis di masa balitanya. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan otak menjadi tidak maksimal. Kondisi otak yang lemah seperti ini tidak mungkin untuk bisa diperbaiki kembali. Akibatnya dalam jangka panjang kualitas belajar anak tidak akan maksimal serta produktivitas bekerja mereka di kemudian hari.

 

“Sehingga IDEAS sangat mendukung desain kurikulum Sekolah Rakyat yang tidak hanya mengedepankan aspek akademik namun juga aspek non-akademik. Sekolah Rakyat sebagai kawasan pendidikan terpadu yang memiliki daya tampung yang besar mendapatkan tuntutan harus sanggup memfasilitasi segala minat dan talenta dari setiap individu peserta didiknya,” ungkap Agung.

 

Keempat, berkumpulnya ratusan anak-anak dan remaja lintas usia dan lintas gender dalam satu kawasan terpadu yang sama berpotensi akan memunculkan beragam permasalahan sosial dan psikologis.

 

“Potensi kenakalan pelajar seperti perundungan, gejala premanisme, pelecehan seksual, konsumsi rokok bahkan narkoba, hingga masalah LGBT perlu diwaspadai sedari awal. Tes Psikologis di awal proses pendaftaran diharapkan bisa membaca potensi-potensi negatif ini. Jangan sampai Sekolah Rakyat malah menjadi ekosistem yang justru menyuburkan perilaku-perilaku negatif yang selama ini telah lama tumbuh di lingkungan masyarakat miskin,” pungkasnya.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Slide
BAKTI NUSA Siap Lepas 57 Penerima Manfaatnya dalam National Mission Bogor – BAKTI NUSA…
Apresiasi National Mission 2021, Anies Baswedan: “Sebuah Semangat yang Amat Baik” Bogor – Apresiasi…
Will it be Worth It? Will it be Worth It? – Long story short,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *