Masa Depan Pangan Dimulai dari Desa

Oleh: Anas Tasia Wijayanti, Awardee Beasiswa Aktivis Nusantara (BAKTI NUSA)

Kita sering berbicara tentang ketahanan pangan nasional, tetapi jarang bertanya: di mana sebenarnya ketahanan itu bertumbuh? Jawabannya sederhana, dari desa. Desa adalah tempat di mana benih pertama kali ditanam, namun hari ini desa menghadapi tantangan besar. Banyak lahan berubah fungsi, petani kehilangan regenerasi, dan nilai bertani perlahan memudar. Kita terlalu lama memandang desa sebagai “wilayah tertinggal”, padahal desa adalah penyangga utama peradaban pangan. Jika desa rapuh, maka ketahanan pangan nasional hanya tinggal jargon.

Selama ini, pembangunan pangan kerap dimaknai sebagai urusan teknologi, investasi, atau kebijakan makro. Padahal, pangan bukan sekadar produk ekonomi, tetapi hasil dari ekosistem sosial dan budaya yang hidup di desa. Ketika desa melemah, rantai pangan ikut rapuh. Ketika petani kehilangan daya tawar, harga pangan menjadi permainan pasar. Untuk itu, masa depan pangan tidak bisa dibangun dari kota, ia harus berakar dari desa yang kuat, mandiri, dan berdaya. Desa yang warganya bukan hanya menjadi penghasil bahan mentah, tetapi juga pengelola nilai tambah; yang tidak sekadar menanam, tetapi mampu mengolah, memasarkan, dan berinovasi.

Generasi muda punya peran penting dalam babak baru ini. Revitalisasi desa tidak akan terjadi tanpa keterlibatan mereka. Pertanian modern butuh anak muda yang melek teknologi, berpikir kritis, dan memiliki jiwa kepemimpinan sosial. Menjadi bagian dari dunia pertanian bukan mundur ke masa lalu, tetapi justru melangkah menuju masa depan yang berkelanjutan, adil, dan bermakna. Maka, membangun masa depan pangan berarti mengembalikan martabat desa sebagai pusat kehidupan.