Literasi dan Perlawanan terhadap Penindasan
Bogor – Ketika Paulo Freire menulis Pendidikan Kaum Tertindas, ia sedang menentang sebuah sistem yang membungkam manusia agar tetap berada dalam posisi pasif. Pendidikan pada masa itu, dan masih sering kita temui hingga hari ini, termasuk di Indonesia, dipahami sekadar sebagai “transfer pengetahuan” dari guru kepada murid. Murid dianggap gelas kosong yang harus diisi, sementara pengalaman, pemikiran, dan kesadaran mereka dikesampingkan. Freire menyebut model ini sebagai pendidikan gaya bank (banking education)—sebuah praktik yang tidak membebaskan, melainkan justru menindas.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia literasi, Andi Ahmadi, Ketua Sekolah Literasi Indonesia (SLI), melihat betapa konsep-konsep Freire begitu relevan. Literasi bukanlah semata kemampuan membaca dan menulis, melainkan jalan menuju kesadaran kritis (critical consciousness). Dalam kegiatan literasi, anak-anak, guru, bahkan orang tua, diajak bukan hanya memahami huruf dan angka, tetapi juga membaca realitas sosial di sekitar mereka. Membaca buku menjadi pintu masuk untuk membaca dunia.
Literasi harusnya mampu mengantarkan anak-anak yang awalnya hanya menyalin kata-kata dari buku, perlahan belajar mempertanyakan: Mengapa ada ketidakadilan di sekitar mereka? Mengapa ada teman yang tidak bisa sekolah karena ekonomi? Mengapa lingkungan mereka rusak karena sampah dan polusi? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu adalah tanda dari proses conscientization yang ditegaskan Freire—proses menjadi manusia yang sadar, merdeka, dan mampu mengambil sikap.
Refleksi ini semakin relevan ketika kita melihat kondisi Indonesia beberapa hari terakhir. Di tengah gegap gempita pembangunan dan retorika kesejahteraan, kita menyaksikan masih banyak rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, komunikasi pejabat negara yang minim empati, dan suara rakyat kecil yang sering diabaikan adalah bukti bahwa bangsa ini masih bergulat dengan “pendidikan dan kepemimpinan yang menindas”. Banyak pengelola negara masih memakai model banking dalam memandang rakyat: rakyat dianggap objek yang hanya perlu diberi janji, arahan, atau bantuan sesaat, tanpa diajak berdialog, apalagi diberdayakan.
Andi mengingatkan jika gerakan literasi tidak boleh berhenti di ruang kelas atau di rak-rak buku, literasi harus menjelma menjadi gerakan sosial yang melahirkan manusia-manusia kritis dan berani menyuarakan kebenaran. Karena menurut Andi gerakan literasi adalah gerakan politik dalam arti yang paling mendasar: membebaskan manusia dari kebodohan yang sengaja dipelihara, dari manipulasi informasi, dan dari ketidakadilan struktural.
“Sebagai penggiat literasi, sudah selayaknya kita tidak sekadar mengajarkan membaca, tetapi juga menyalakan keberanian agar masyarakat tidak sekadar menjadi “objek pembangunan,” melainkan subjek yang menentukan arah masa depan. Paulo Freire mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang melahirkan dialog, kesadaran, dan tindakan nyata,” kata Andi.
Melihat situasi bangsa yang penuh paradoks hari ini—gaji anggota DPR dan pejabat negara semakin tinggi sementara rakyat masih berjibaku dengan kesulitan hidup, kursi-kursi kekuasaan bisa dirangkap oleh segelintir orang sementara jutaan rakyat kesulitan mencari pekerjaan, pajak terus dinaikkan tetapi hasilnya tak kembali kepada rakyat, bahkan sebagian hilang dikorupsi—literasi kritis menjadi senjata paling ampuh.
“Sebab, bangsa yang literat bukan hanya bangsa yang pandai membaca huruf, tetapi bangsa yang mampu membaca realitas, berani mempertanyakan ketidakadilan, dan tak gentar memperjuangkan perubahan,” tegas Andi. Ia menambahkan, membaca kembali gagasan Paulo Freire adalah ajakan untuk masyarakat, “jangan biarkan rakyat terus berada dalam posisi tertindas. Mulailah dari literasi, dari kesadaran kritis, dari keberanian berdialog, dan dari tekad bersama untuk membebaskan,” tandasnya.