Orang Tua Wajib Baca Ini!
Oleh: Widiastuti, S.Pd
Fenomena di mana pengharapan orang tua akan anaknya menguasai semua ilmu akademis terlalu berlebihan. Bahkan, dengan cara yang terkesan memaksa. Sebuah kasus, sering temukan disekitar kita, dimana orang tua mendatangi gurunya dengan bertanya mengapa anaknya tidak diberi tugas rumah? Karena bagi orang tua, ketika anak tidak mempunyai tugas rumah, artinya anak tersebut tidak akan pernah belajar, terus bermain dan bahkan akan sulit menguasai pelajari yang begitu sulit.
Belum lagi, berbagai les tambahan pun diberikan sehingga anak betu-betul penuh dengan jam belajar. Pengharapan orang tua terhadap anaknya disesuaikan dengan makna belajar yang dipahaminya. Karena belajar terbatas pada segala hal yang berbau akademis saja dan pencapaian nilai hanya dari angka rapor, dia tidak akan bisa menghargai apapun yang dipelajari anaknya melalui kegiatan bermain.
Bagi orang tua, anak dinyatakan berhasil jika ulangannya mendapat nilai 10 atau 9, atau anaknya mampu menyebutkan nama tokoh dunia, tempat bersejarah dan nama sungai terpanjang di dunia. Apakah ada artinya bagi orangtua, jika anaknya memperoleh angka 6 tapi dari usahanya sendiri? Padahal, anaknya tahu begitu banyak temannya mencotek saat ulangan. Atau anaknya mempunyai rasa empati saat melihat saudara atau teman yang sakit.
Apakah ada artinya bagi kita orang tua, jika anak belajar bermain-main air hujan dan saat itu ia menyaksikan banyak sampah yang menyumbat selokkan sehinga menyebabkan banjir di wilayah perumahannya. Lalu di pikirannya mulai tertanam, banjir kecil bisa terjadi di perumahan tempat tinggalnya akibat dari membuang sampah sembarangan diselokan air. Bagaimana sampah yang dibuang di sungai ya? Tahukah, saat itu anak kita membuat koneksi logis, di mana ribuan neuron saling berkomunikasi dan sangat efektif dalam memberikan pelajaran tentang lingkungan dan sosial.
Dan apakah ada artinya bagi kita orang tua, ketika bermain bersama temannya, anak kita belajar memimpin dan dipimpin? Dia belajar bahwa sikap mau menang sendiri membuat teman-temannya menjauh, dan dia juga belajar tentang konsekuensi merebut mainan, mengejek, menyakiti teman.
Untuk itu, kita orang tua harus meninjau kembali makna belajar yang diyakini selama ini. Apakah orang tua tanpa sadar sangat membatasi makna belajar? Apakah orangtua sangat membatasi pencapaian anak ? atau Apakah orangtua hanya memaksakan obsesi atau pengharapannya?
Menurut, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari dalam bukunya Yuk jadi Orang Tua Salih, sebelum meminta anak saleh ada beberapa permasalahan umum yang terjadi seputar belajar berakar pada hal-hal berikut:
Pembatasan atau penyempitan makna belajar oleh orang tua
- Belajar secara umum berarti anak harus duduk tenang menghadap meja
- Belajar dengan buku pelajaran di depan mata
- Belajar membaca dini berarti belajar menghafal huruf dan mengeja kata
- Belajar berhitung dini berarti menghafal angka, penambahan dan pengurangan
- Belajar menulis dini, anak berlatih menulis huruf-huruf dan suku kata secara berulang
Pembatasan Pencapaian anak yang diakui orang tua
- Semakin dini anak bisa membaca, menulis dan berhitung semakin baik
- Anak mampu menghafal fakta-fakta
- Anak mendapatkan nilai tinggi untuk ulangan-ulangan disekolah
- Anak mendapatkan rengking tinggi dikelasnya
- Anak menjadi juara dalam lomba-lomba di luar sekolah
- Anak bisa melakukan hal-hal yang orangtua tidak mampu pada waktu ia kecil
- Anak berhasil masuk sekolah favorit
Upaya-upaya orang tua agar anak mewujudkan harapannya
- Mengurangi waktu bermain
- Menyekolahkan lebih awal, paling awal
- Mengikutkannya berbagai les atau kursus
- Mengikutkannya pada lomba-lomba
- Menekankan pentingnya nilai, rangking dan kemenangan
- Menambah jam belajar ketika terjadi penurunan prestasi
- Mematok jalur khusus untuk pendidikan anak, dari SD hingga perguruan tinggi favorit
- Menggunakan cara-cara kontraprodiktif ketika anak tampak malas; menasehati, menyuruh, menceramahi, atau mengomel.
Lalu apa yang terjadi dengan anak kita? Tak heran jika anak mengalami yang namanya keenganan, kemalasan, kebosanan, kejenuhan, stres, kemacetan, ketidakmandirian, kurang bergaul, tidak bahagia, kurang motivasi dan antisosial.
Semua masalah itu InsyaAllah bisa dihindari, ataupun kalau sudah terlanjur terjadi bisa diperbaiki. Orang tua cerdas bisa menggali potensi karunia belajar yang Allah berikan kepadanya. Merubah paradigma tentang belajar dan pencapaian belajar mulai saat ini. Dengan pengetahuan, orang tua memfasilitasi anak untuk mencapai potensi yang ia miliki. Belajar sesuai tahapan, dengan tidak akan memburu-buru anaknya agar matang lebih cepat atau lebih dini. Jika ada tahapan yang terlewatkan, anak kita sendiri yang merugi.
Perkembangan anak harus dilihat secara utuh, yang mencakup fisik, mental, sosial dan emosi mereka. Ingatlah, bahwa kemajuan anak berbeda-beda dan waktu yang dilalui untuk tiap tahap tidak mencerminkan kecerdasan mereka. Misalnya si adik kurang cerdas dibandingkan kakaknya karena pada usia setahun belum bisa berjalan seperti kakaknya dulu. Adik mungkin mempunyai kepribadian yang mengharuskan dia bergerak lebih lambat agar bisa menikmati hidup dan benar-benar menyerap pembelajaran.