Batasan Hati Hanya Kita yang Tahu

Batasan Hati Hanya Kita yang Tahu

“Leader touch a heart before they as for a hand”
 – John C. Maxwell.

 

Ada satu pesan baik yang mengatakan, “memberi tanpa mengingat, menerima tanpa melupakan”. Jelas bahwasannya mengambil jalan menjadi aktivis, sama halnya dengan kita menerima peran kepemimpinan dengan berbagai macam resiko dan tantangannya. Berusaha untuk memberikan dan menolong orang lain yang sedang membutuhkan, tanpa harus mengingat serta menghitung-hitung kebaikan yang sudah kita lakukan. Tetapi juga jangan lupa untuk senantiasa mengingat kebaikan yang telah dilakukan oleh orang lain kepada diri kita, karena diri kita hari ini merupakan hasil dari uluran tangan orang-orang baik yang hadir dalam setiap kondisi, fase, dan momentum sehingga diri kita mampu berkembang sampai dengan hari ini.

 

Mengambil peran kepemimpinan sama halnya kita berbicara mengenai mengajak orang lain dalam kebaikan, apapun itu bentuknya. Saling menjaga dalam keimanan, merajut ukhuwah satu sama lain, berkata baik dan memberikan teladan, membantu siapa saja yang membutuhkan, sekaligus mewakafkan dirinya untuk berkontribusi dan bermanfaat demi kemashalahatan banyak orang.

 

Last but not least, karakter pemimpin teladan adalah encourage the heart. Senantiasa mendorong, membesarkan hati dan memberi semangat. Ada energi positif seorang pemimpin yang terus memancar sehingga mampu mengikat dan menginspirasi mereka yang dipimpin. Jika kita telaah sirah nabawiyah dan hadist-hadist tentang akhlak Rasulullah memang banyak sekali kita temui kisah menyentuh bagaimana Rasulullah itu penuh dengan kasih sayang. Keluhuran akhlak Rasulullah kian menjadikan beliau sosok pemimpin teladan yang dekat dengan yang dipimpinnya.

 

Keteladanan tersebut juga berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yang dimana juga sama-sama mengemban peran sebagai seorang aktivis dalam ruang-ruang kepemimpinannya. Menjadi aktivis akan menuntut banyak hal, dan salah satunya ialah kemampuan untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dan interaksi dan komunikasi yang baik ialah yang berasal dari dan kembali ke hati. Ma khoroja minal qolb washola ilal qolb (sesuatu yang keluar dari hati akan sampai ke hati).

 

Kemudian, ketika kita berbicara mengenai hati, sebenarnya hanya diri kita dan Allah saja yang tahu apa-apa yang ada dihati kita. Akan tetapi, fenomena yang sering terjadi ialah interaksi dan komunikasi yang terbangun diantara sesama manusia sangat mudah untuk memunculkan hubungan ganda (dual-relationship), khususnya interaksi yang terbangun diantara laki-laki dengan perempuan, maupun sebaliknya. Akibatnya, lawan bicara kita sering kali salah dalam menafsirkan hubungan yang dibangun dari kebaikan orang lain kepada diri kita. Tidak jarang juga hal tersebut terjadi diantara sesama aktivis, yaitu orang yang harusnya memahami betul batasan interaksi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak melebih-lebihkan porsi perannya sebagai hamba milik Tuhan.

 

Mungkin kita lupa, menjadi aktivis sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah, terdapat koridor-koridor yang mengatur tata cara diri kita untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan lawan jenis. Rasulullah berbuat baik, karena memang dirinya merupakan orang baik. Sama halnya dengan diri kita yang sedang sama-sama belajar untuk menjadi orang baik dan berbuat baik. Pemahaman akan hal tersebut alangkah baiknya sudah dipahami oleh setiap aktivis yang sedang menjalankan peran kepemimpinannya.

 

Kemudian, kenapa memangnya disebut dengan aktivis menye-menye? Satu hal yang perlu kita ingat ialah kita tidak bisa mengatur dan mengontrol pikiran, perasaan, dan mulut orang lain. Tetapi kita bisa mengendalikan respon diri kita terhadap hal tersebut. Ini yang menjadi masalah, yaitu ketika kebaikan orang lain kita tafsirkan secara berlebihan. Kita membiarkan diri kita terbawa oleh perasaan mendayu-dayu yang sebenarnya fana, yang sebenarnya orang lain tersebut melakukan kebaikan itu kepada banyak orang lainnya, dan bukan hanya kepada diri kita saja. Kitanya saja terkadang yang kegeeran dan merasa dispesialkan, padahal biasa dan tidak ada apa-apanya.

 

Fenomena tersebut cukuplah menjadi pelajaran bahwasannya untuk berhati-hati dengan hati dan perasaan orang lain. Karena yang dikhawatirkan ialah perbuatan ataupun perilaku yang kita lakukan dapat mempengaruhi keberlangsungan proses diri kita untuk mengajak orang lain dalam kebaikan. Walaupun, kadang-kadang persepsi adalah sebuah perangkap dan tafsir terhadap sesuatu sering keliru.

 

“Karena engkau telah menghukumku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan, Engkau tidak akan mendapai kebanyakan mereka bersyukur”, Ujar Ibis dalam surat Al-A’raf[7]: 16-17. Mungkin kita lupa bahwasannya Iblis akan senantiasa berusaha menurunkan kadar keimanan dan kapasitas diri kita. Berusaha menggoda diri kita untuk melakukan perbuatan tercela, melancarkan kemaksiatan dan lain sebagainya. Sehingga hanya Allah lah sebaik-baik tempat meminta dan memohon perlindungan dari godaan Iblis yang terkutuk.

 

Tulisan ini hadir sebagai pengingat dan refleksi, khususnya kepada penulis sendiri dan khalayak umum untuk senantiasa bersikap professional dalam menjalin hubungan baik dengan orang lain, khususnya yang berkaitan langsung pada proses menolong orang-orang yang sedang membutuhkan sesuai dengan porsi dan kemampuan diri kita sendiri. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang lalai dan membiarkan hati kita terlena dalam ketidakjelasan hubungan diantara dua orang, khususnya hubungan yang bersinggungan langsung dengan lawan jenis. Tidak berlebih-lebihan dalam menanggapi, serta memberikan perhatian dan rasa nyaman sesuai dengan kebutuhannya. Putuskan saja ketidakjelasan hubungan tersebut, apabila sudah melebihi batasan yang sudah disepakati demi kebaikan bersama.

 

Coba tanyakan kembali kepada hati kita, sejauh mana batasan-batasan yang sudah kita pahami dan yakini, karena setiap orang memiliki persepsinya masing-masing dalam menentukan batasan hatinya sendiri. Bukan maksudnya juga untuk akhirnya membatasi lingkup pergaulan dan pertemanan kita dengan orang lain. Bertemanlah dengan siapapun. Semoga Allah memudahkan sekaligus menjaga orang-orang yang ingin berbuat baik dan menjalin silaturrahim dari bisikan sisi gelap hati manusia untuk melakukan kejahatan. Aamiinn.

Slide

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *