Ayo Hormati Guru
Tak ada yang istimewa dengan seruan “Ayo hormati guru!” Karena bersikap hormat dan berbakti kepada guru adalah perilaku terpuji yang harus dilakukan siapa pun. Yang jadi persoalan, apakah guru mampu konsisten berperilaku baik yang bisa mencerminkan jati dirinya?
Harga diri adalah cerminan dari jati diri. Harga diri tak dapat dihitung tetapi sangat bernilai. Guru membutuhkan waktu lama untuk membangun harga dirinya. Apa yang harus dikerjakan guru sepanjang waktu? Berbuat kebajikan. Namun, cukup hitungan detik saja bagi seorang guru untuk menghancurkan harga dirinya. Karena apa harga diri guru hancur? Berbuat kemaksiatan. Harga diri guru adalah hasil dari proses introspeksi diri yang berkesinambungan.
Bagaimana cara membangun harga diri guru? Pertama, utamakan sikap menunaikan kewajiban daripada menuntut hak. Sikap demikian menunjukkan tanggung jawab besar seorang guru. Jangan sebaliknya, gemar menuntut hak tetapi abai menyelesaikan kewajiban. Maka, guru harus bisa pahami dan bedakan makna halal dan baik. Guru mendapatkan gaji setelah bekerja menuntaskan seluruh kewajibannya, maka gaji itu berasal dari sumber yang halal. Dari gaji tersebut, lalu guru membeli makanan yang sehat dan bergizi. Maka, makanan itu memenuhi unsur baik.
Yang tak boleh terjadi, adalah guru makan gaji buta. Guru mengonsumsi makanan bergizi dari gaji sebagai guru, tetapi tidak memenuhi kewajibannya sebagai guru. Apakah gajinya yakin halal? Atau sebaliknya, guru membelanjakan sebagian dari gajinya yang halal untuk membeli makanan yang tidak sehat atau berlebih-lebihan pada saat mengonsumsinya. Jadi, unsur halal dan baik harus dipenuhi. Guru yang paham makna halal dan baik sedang berikhtiar membangun harga dirinya.
Kedua, guru mesti belajar tiada henti. Firman Allah Swt., “Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS al-Isra: 37). Guru yang belajar adalah guru yang rendah hati. Guru bisa belajar dari semua orang yang dianggap sumber ilmu. Bahkan, guru bisa belajar dari muridnya sendiri. Yang terpenting, guru bisa belajar dari proses perjalanan hidupnya sendiri. Muaranya, guru sungguh-sungguh untuk belajar memperbaiki diri.
Kesungguhan untuk berbenah, itulah yang utama. Kesungguhan untuk lakukan perbaikan, itu yang membuat banyak guru berhasil membangun harga dirinya. Kesungguhan itulah yang harus dicari. Banyak guru bekerja tapi hanya bekerja saja. Masuk pagi pulang sore. Rutin kerja seolah sudah cukup. Bila diminta memilih rajin atau malas, ia lebih memilih malas.
Alasannya menyedihkan. Rajin atau malas, gajinya tetap sama. Apakah guru semacam ini layak mendapatkan penghormatan? Jelas tidak. Karena guru seperti ini adalah guru yang berkhianat terhadap amanahnya sebagai pendidik. Maka, bukan saja harga dirinya rusak secara pribadi, namun bisa menghancurkan martabat guru sebagai profesi yang mulia. Wallahu a’lam.