Guru dan Misi Transformasi: Melawan Kebodohan dan Ketimpangan
Oleh: Andi Ahmadi, Ketua Sekolah Literasi Indonesia
Pada momen spesial Hari Guru Nasional ini, mari kita merenung sejenak: Apakah guru sudah mampu menjadikan ruang kelasnya bukan sekadar tempat menyampaikan materi, tetapi sebagai wadah dialog di mana murid dan guru sama-sama berpikir, mempertanyakan, dan membangun perubahan?
Jika kita perhatikan, banyak ruang kelas di sekolah-sekolah tampak seperti panggung teatrikal yang berulang: guru berdiri di depan papan tulis, menyampaikan materi, sementara murid mencatat dan menganggukkan kepala. Sepintas pola pengajaran ini terasa aman-aman saja, namun menyembunyikan kegelisahan mendalam: ketika pengetahuan hanya disampaikan satu arah, apakah kita benar-benar telah menumbuhkan pikiran kritis? Ataukah hanya memperkuat pola pasif di mana murid lebih banyak menjadi pendengar daripada subjek pemikir?
Saya meyakini bahwa peran guru jauh lebih besar dari itu. Guru adalah pembawa misi bahwa pendidikan bukan hanya jembatan menuju nilai dan pekerjaan, melainkan medan perlawanan. Pendidikan harus melawan kebodohan sistemik, bukan sekadar ketidaktahuan, tetapi juga ketidakadilan struktural; melawan kemiskinan yang diwariskan turun-temurun; dan melawan penindasan yang terstruktur. Seorang guru dengan panggilan semacam ini akan menempatkan dirinya bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pejuang peradaban.
Pemikiran Paulo Freire sangat relevan dengan konteks ini. Dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan dari Pedagogy of the Oppressed), Freire mengkritik keras apa yang dia sebut “pendidikan gaya bank”, di mana murid dianggap sebagai “celengan kosong” yang diisi oleh guru. Murid hanya sebagai objek pasif. Freire bahkan menyebut praktik seperti ini sebagai praktik penindasan dalam pendidikan.
Sebagai alternatif, Freire menawarkan pendidikan “hadap-masalah” (problem-posing education), di mana murid dan guru sama-sama berperan sebagai aktor yang setara, berdialog sebagai rekan untuk memahami realitas di sekitarnya. Dalam model ini, murid bukan hanya pendengar, tetapi subjek pemikir yang aktif menamai realitas sosial di sekitarnya, mengkritisinya, dan bersama guru merumuskan tindakan untuk mengubahnya. Proses ini disebut praksis, sebuah siklus refleksi dan aksi yang terus menerus, agar pendidikan tidak berhenti di atas kertas, tetapi menjadi proses pembebasan dan transformasi.
Melihat peran guru dari perspektif Freire, tanggung jawab mereka menjadi amat besar. Seorang guru-pejuang harus menumbuhkan misi moral dalam dirinya: bahwa mengajar bukan sekadar profesi, tetapi panggilan untuk humanisasi dan keadilan. Ini berarti guru perlu memperluas bacaan mereka, tidak hanya buku pedagogi, tetapi juga karya pemikiran sosial dan peradaban yang menggugah kesadaran, seperti buku-buku Paulo Freire salah satunya.
Namun, misi besar semacam ini tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri. Kebersamaan dengan sesama guru yang punya keresahan sama menjadi hal yang sangat penting. Guru dengan semangat perlawanan bisa membangun komunitas pemikiran dan aksi: ruang membaca bersama, berdiskusi gagasan kritis, merancang kelas dialog sosial, hingga membangun proyek di masyarakat seperti proyek literasi untuk kesejahteraan. Komunitas semacam itu bisa menjadi barisan yang kuat dalam menghadapi struktur sosial yang tak adil.
Selain itu, ada strategi konkret yang bisa ditempuh guru yang disesuaikan dengan metode pendidikan transformatif (Transformative EduAction). Pertama, guru bisa menjalankan siklus praksis secara sistematis dalam pembelajaran, yaitu mengajak murid merefleksikan realitas, kemudian bertindak, lalu merefleksikan kembali hasil tindakan itu. Kedua, menjalin kerjasama lintas sektor seperti komunitas literasi, atau organisasi sosial untuk memperluas dampak pendidikan di luar kelas. Ketiga, guru perlu pelatihan literasi kritis agar kompetensi mereka bukan hanya teknis, tetapi juga moral dan sosial. Terakhir, guru bisa menulis esai, opini, atau blog sebagai cara memperkuat narasi bahwa pendidikan itu perlawanan dan transformasi.
Jika guru melaksanakan misi ini, dampaknya sangat besar. Bagi murid yang hidup dalam keterbatasan, guru-pejuang bisa menjadi mercusuar harapan: meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah senjata, bukan hanya jalan keluar dari kemiskinan, melainkan alat untuk memperjuangkan perubahan. Sedangkan bagi murid yang kehidupannya lebih beruntung, guru seperti ini menanamkan karakter kuat, kesadaran sosial, dan tanggung jawab sosial, agar kelak di masa depan ketika mereka memiliki akses dan kekuatan, mereka menggunakannya untuk meratakan keadilan, bukan mempertahankan ketimpangan.
Pandangan ini mungkin tidak selalu populer. Banyak yang hanya menilai guru dari nilai-nilai akademis atau efektivitas mengajar. Tapi saya percaya bahwa tugas guru jauh lebih besar: sebagai penjaga harapan dan agen peradaban. Melalui momen Hari Guru Nasional ini, mari kita dorong sistem pendidikan untuk memberikan ruang bagi guru sebagai agen perubahan, bukan hanya mengajar, tetapi juga membebaskan.
Referensi Bacaan:
Freire, P. (2019). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Narasi