Gunung Es Literasi: Dari Merespons Masalah ke Menyentuh Akar Persoalan  

Gunung Es Literasi: Dari Merespons Masalah ke Menyentuh Akar Persoalan

 

Bogor – Dalam keseharian penggiat di dunia pemberdayaan masyarakat—terutama di bidang pendidikan dan literasi—tak jarang dihadapkan pada fenomena-fenomena yang muncul begitu nyata dan mendesak: anak-anak yang belum bisa membaca padahal sudah duduk di kelas tinggi, guru yang merasa kewalahan dan tidak tahu bagaimana mengajarkan literasi, atau orang tua yang tampak tidak peduli terhadap perkembangan belajar anak.

 

Gejala-gejala ini seolah-olah menjadi “masalah utama” yang harus segera diatasi. Sering kali, secara refleks, tergoda untuk langsung “turun tangan”: membuat kelas tambahan membaca, membagikan buku, menggelar pelatihan guru, atau menyelenggarakan lomba literasi. Ini semua adalah upaya yang baik dan tulus. Namun pertanyaannya: apakah itu cukup?

 

Apakah benar-benar menyentuh akar persoalan, atau justru hanya menangani gejala yang muncul di permukaan?

 

Konsep Gunung Es: Lebih dari Sekadar Apa yang Terlihat

Konsep Systems Thinking (berpikir sistem) yang diperkenalkan oleh Peter Senge menawarkan cara pandang bahwa suatu fenomena tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari keseluruhan sistem yang saling terkait dan memengaruhi. Salah satu konsep kuncinya adalah System’s Iceberg atau sistem gunung es. Melalui pendekatan ini, kita diajak untuk tidak berhenti pada gejala yang tampak di permukaan, tetapi menyelami lebih dalam pola-pola yang berulang, struktur yang membentuk perilaku, hingga cara berpikir yang secara tidak sadar menciptakan dan memelihara masalah tersebut.

 

Saat melihat sebuah fenomena, kita lebih sering hanya melihat “puncak gunung es” yang muncul di permukaan air. Padahal, sebagian besar massa gunung es justru tersembunyi di bawah permukaan. Begitu pula dengan masalah-masalah sosial dan pendidikan: yang terlihat hanyalah sedikit dari keseluruhan sistem yang bekerja di belakangnya.

 

Senge (dalam Hartono, 2021) secara sederhana membagi struktur gunung es ini ke dalam tiga lapisan:

  1. Event (kejadian) – Apa yang tampak dan terjadi saat ini. Contohnya: “Anak kelas 4 belum bisa membaca.”
  2. Patterns (pola) – Tren atau kecenderungan yang terjadi berulang kali. Misalnya: “Setiap tahun, sebagian besar siswa naik kelas tanpa kemampuan literasi dasar.”
  3. Systemic Structure (struktur sistem) – Akar dari pola tersebut. Bisa berupa budaya sekolah yang tidak mengapresiasi membaca, kurikulum yang terlalu padat, tidak adanya waktu khusus untuk kegiatan literasi, atau bahkan nilai-nilai masyarakat yang belum menempatkan membaca sebagai bagian penting dari
  4. Kehidupan – Konsep ini menantang kita untuk tidak berhenti pada “apa yang terjadi”, tetapi menggali “mengapa itu terus terjadi” dan “struktur apa yang menyebabkan itu terjadi berulang kali”.

 

Reaktif, Adaptif, atau Generatif?

Pada tataran praktik, Senge menyebutkan tiga jenis pendekatan yang bisa digunakan untuk menghadapi sebuah fenomena:

  1. Pendekatan Reaktif (Reaksi terhadap Kejadian)

Pendekatan ini adalah yang paling umum dan paling mudah dilakukan. Ketika melihat sebuah kejadian, kita langsung meresponsnya. Respon ini biasanya lebih sederhana dan straight forward. Solusi reaktif biasanya juga mudah diterima oleh orang lain dan cenderung menjadi solusi populer. Pendekatan ini memang penting, terutama saat krisis, tetapi bersifat sementara.

 

Dalam konteks literasi contohnya adalah membagikan buku saat melihat anak-anak tidak punya bahan bacaan, membuat kelas membaca cepat saat anak-anak lambat membaca, atau menggelar pelatihan cepat saat melihat guru kebingungan mengajarkan literasi.

 

Sayangnya, jika pendekatan ini dilakukan terus-menerus tanpa menyentuh akar masalah, maka kejadian yang sama akan terus berulang. Seolah kita memadamkan kebakaran tanpa pernah menelusuri mengapa kebakaran itu bisa terjadi terus-menerus.

 

  1. Pendekatan Adaptif (Mengamati Pola)

Pada pendekatan ini, kita mulai melihat bahwa kejadian-kejadian yang ada tidak berdiri sendiri. Ada pola yang terus berulang. Kita mulai mengumpulkan data dari waktu ke waktu, mencari benang merah dari berbagai kejadian, dan mencoba mengantisipasi kemungkinan kejadian serupa di masa depan.

Misalnya, kita menyadari bahwa anak yang tumbuh di keluarga tanpa kegiatan membaca rutin lebih berisiko mengalami kesulitan membaca. Atau kita melihat bahwa sekolah-sekolah yang memiliki program literasi secara terstruktur cenderung memiliki capaian literasi yang lebih baik. Pendekatan ini lebih proaktif daripada reaktif, dan membantu kita untuk merancang intervensi yang lebih tepat sasaran.

Namun, pendekatan ini masih memiliki keterbatasan. Ia belum menyentuh akar dari pola-pola itu. Ia belum sampai mengubah sistem.

 

  1. Pendekatan Generatif (Membongkar dan Mengubah Struktur Sistem)

Ini adalah lapisan terdalam. Pendekatan ini mengajak kita menyelami struktur yang menyebabkan pola-pola itu terus muncul. Kita mulai bertanya: sistem seperti apa yang membentuk perilaku-perilaku tersebut? Apa nilai, kebijakan, praktik, dan budaya yang membuat masalah ini terus berulang?

Dalam konteks literasi, kita bisa mulai memetakan: apakah guru mendapatkan pelatihan yang sesuai untuk mengajarkan dan menguatkan literasi? Apakah kurikulum di sekolah mendukung untuk pengembangan literasi? Apakah orangtua dibekali pemahaman dan keterampilan untuk mendampingi anak belajar di rumah? Apakah kebijakan di wilayah setempat mendukung tumbuhnya ruang baca yang ramah anak?

 

Melakukan perubahan di level struktur memang tidak mudah. Sering kali membutuhkan waktu lama, sumber daya yang besar, dan kerja lintas sektor. Selain itu, sering kali hasilnya tidak langsung terlihat. Tapi justru di sinilah letak leverage point—titik balik perubahan besar yang berdampak jangka panjang.

 

Relevansinya bagi Program Literasi

Sebagai entitas yang bergerak di bidang pendidikan dan literasi, pemahaman terhadap System’s Iceberg bisa menjadi bekal penting dalam merancang intervensi yang lebih berdampak. Alih-alih hanya merespons gejala, kita bisa:

  • Menggunakan data lintas waktu untuk membaca pola yang terjadi.
  • Melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memetakan struktur sistem literasi di wilayah sasaran.
  • Mendesain program dengan pendekatan multi-level, yang menjangkau siswa, guru, orangtua, komunitas, dan kebijakan.
  • Membangun ekosistem literasi alih-alih hanya event atau program sesaat.

Ketika kita mulai menyelami sistem, kita akan menemukan bahwa perubahan tidak selalu cepat atau mudah. Satu hal yang perlu kita jadikan pedoman adalah bahwa perubahan yang menyentuh struktur adalah perubahan yang mangaka dan akan bertahan lama.

 

Penutup: Bekerja Lebih Dalam, Berpikir Lebih Jauh

System’s Iceberg mengajak kita untuk memperluas perspektif. Tidak hanya bertanya “apa yang salah?”, tetapi juga “mengapa ini terjadi?” dan “apa yang membuat ini terus terjadi?” Pendekatan ini membantu kita menghindari jebakan solusi instan, dan menuntun kita menuju intervensi yang menyentuh akar.

 

Dalam kerja literasi, ini berarti bahwa perubahan tidak cukup hanya dengan membagikan buku atau mengadakan pelatihan. Kita perlu mengubah cara berpikir, membangun budaya, dan menata ulang struktur yang menopang sistem pendidikan dan masyarakat.

 

Pada akhirnya, literasi sejati bukan hanya soal membaca buku. Ia adalah tentang membangun masyarakat yang sadar, kritis, reflektif, dan terus tumbuh. Untuk bisa mencapai mimpi besar itu, kita perlu lebih dari sekadar menambal yang rusak. Kita perlu menyelam ke dalam, dan membangun ulang fondasi yang menopangnya.

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn

Slide
BAKTI NUSA Siap Lepas 57 Penerima Manfaatnya dalam National Mission Bogor – BAKTI NUSA…
Apresiasi National Mission 2021, Anies Baswedan: “Sebuah Semangat yang Amat Baik” Bogor – Apresiasi…
Will it be Worth It? Will it be Worth It? – Long story short,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *