Gaji Guru Indonesia: Penindasan Berkedok Kerja Ikhlas
Oleh: Faris Hafizh Makarim, Kontributor
“Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, nikmati saja, nanti masuk surga.”
(Muhadjir Effendy, Mendikbud Indonesia, 2019)
Setelah melakukan berbagai macam perjalanan ke pelosok negeri, saya mendapati bahwa masalah pendidikan ada di segala penjuru. Salah satu faktor besar yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia ini adalah gaji guru.
Ekspedisi sebulan saya ke suatu desa terpencil di Nunukan, Kalimantan Utara, telah membuat saya melihat berbagai hal di sekolah yang menyedihkan dan menjadi tantangan besar untuk guru-guru. Kurangnya dukungan orangtua membuat turunnya semangat murid-murid untuk belajar. Alhasil, murid-murid terpaksa dipersilahkan untuk naik kelas walaupun masih belum bisa membaca dan menghitung—sampai-sampai ada siswa kelas 5 yang belum bisa membaca. Sayangnya, guru-guru tidak dapat fokus untuk mendidik siswa-siswi di sekolah karena mereka harus memikirkan pemenuhan kebutuhan dasar mereka yang tidak cukup hanya dengan gaji dari sekolah.
Sepulang sekolah, guru-guru segera melakukan pekerjaan kedua mereka agar keluarganya di rumah dapat terus mendapatkan makan dan minum—tidak sempat melakukan persiapan untuk pengajaran esok hari. Kondisi ini disebabkan atas rendahnya gaji yang diberikan kepada guru-guru, apalagi guru honorer yang mendapatkan pendapatan jauh di bawah guru-guru PNS. Hal ini diperparah dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sering terlambat turun, dan terkadang tidak turun sama sekali karena sekolah tidak dapat melakukan input data sekolah ke pusat karena ketiadaan internet di desa—jangankan internet, listrik pun tidak ada.
Saya sangat setuju dengan kebaikan besar dan amal jariyah yang akan didapatkan para guru jika mereka mendidik anak-anak tanpa mengharapkan imbalan apapun—pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, jangan biarkan guru-guru menjadi lilin penerang sekitar yang lama-lama akan terbakar sampai habis. Tanpa insentif yang cukup, kualitas pengajaran yang diberikan guru-guru akan berkurang. Jika kualitas pengajaran guru rendah, murid-murid tidak akan mendapatkan pembelajaran yang efektif. Secara natural, manusia akan memastikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primernya sebelum dapat melakukan hal-hal yang lain—saya rasa tidak perlu hitung-hitungan rumit untuk menjelaskan logika simpel ini.
Bapak Mendikbud mengatakan bahwa guru memiliki tanggung jawab sosial yang besar sebagai pekerja professional. Tapi kenapa peran dengan tanggung jawab besar ini tidak diberikan insentif yang cukup bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan primer mereka? Bapak yang terhormat, jangan pakai bungkus indah berupa kebaikan, amal jariyah, apalagi surga, untuk menutupi penindasan kepada guru-guru. Maka dari itu, saya menyarankan untuk melakukan evaluasi kembali terhadap kebijakan gaji guru di Indonesia.