Faktor Pemicu Kerusuhan Sosial  

Faktor Pemicu Kerusuhan Sosial

 

Jakarta – Sebuah bom yang telah lama aktif namun belum ditarik pemantiknya, akhirnya meledak setelah Affan Kurniawan terlindas mobil rantis Brimob Polri. Aksi rusuh kemudian mengguncang berbagai kota besar di Indonesia pada Agustus 2025. Aksi rusuh yang menyebar dengan cepat, menggerakan banyak orang seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah, ada masalah yang selama ini terpendam yang kemudian meledak ketika ada pemantiknya.

 

 

Menurut Aza El Mundaiyan, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Budi Bakti Dompet Dhuafa, pemantik kerusuhan sosial bukan sekadar ekspresi kemarahan spontan, melainkan akumulasi tekanan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan kebuntuan kebijakan publik selama satu dekade terakhir. Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan yang melebar, pengangguran yang tinggi, dan pendekatan keamanan yang represif menjadi tiga faktor kunci yang memperkuat risiko kerusuhan.

 

Ia menjelaskan jika di laporan Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) mencatat Gini Ratio nasional sebesar 0,375. Sekilas tampak membaik dibanding tahun sebelumnya, namun penurunan ini menyembunyikan fakta bahwa jurang sosial melebar di tingkat provinsi. Gini rasio DKI Jakarta mencapai 0,441, DI Yogyakarta provinsi penuh dengan romantisme ternyata gini rasio mencapai 0,426 dan Tanah Sunda yang katanya dibuat ketika Tuhan tersenyum memiliki tingkat ketimpangan 0,416. Fenomena ini mengonfirmasi hipotesis Kuznets (1955) yang menjelaskan bahwa awal mula periode pembangunan ekonomi sering memicu kenaikan ketimpangan sebelum kemudian stabil Ketika Pembangunan telah berlangsung lama.

 

“Persoalan Indonesia ternyata berbeda, titik keseimbangan itu tak kunjung tiba setelah sekian lama. Ekonomi tumbuh, tetapi hasilnya menumpuk di pusat-pusat kota dan hanya dinikmati segelintir kelompok elite. Urbanisasi cepat tanpa pemerataan kesempatan kerja memperkuat kesenjangan sosial dan memicu rasa ketidakadilan di masyarakat,” terang Aza.

Aza menerangkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 mencapai 6,47 persen, setara 9,2 juta jiwa. Angka ini semakin mencemaskan, 59,4 persen pekerja berada di sektor informal dengan pendapatan rendah, tanpa jaminan sosial, dan rawan eksploitasi.

“Fenomena ini sesuai dengan Dual Labor Market Theory (Doeringer & Piore, 1971) yang memisahkan pasar tenaga kerja menjadi dua yaitu sektor formal yang stabil dan sektor informal yang rapuh. Lebih buruk lagi, pengangguran jangka panjang memunculkan efek hysteresis (Blanchard & Summers, 1986) kondisi di mana keterampilan tenaga kerja menurun, produktivitas melemah, dan masyarakat semakin sulit keluar dari jebakan kemiskinan. Ketimpangan dan pengangguran inilah menjadi bahan bakar ketegangan sosial yang semakin sulit dikendalikan,” tambahnya

.

Masalah lain yang jarang dibicarakan secara serius adalah krisis kepercayaan publik terhadap aparat keamanan. Laporan KontraS (2025) mencatat 66 kasus kekerasan aparat sepanjang tahun, termasuk penembakan dan penangkapan sewenang-wenang. Penelitian penulis dengan menganalisis variabel pengaruh ketimpangan pendapatan (Gini Ratio), tingkat pengangguran terbuka (TPT), dan kekerasan aparat terhadap eskalasi aksi anarkis dengan memanfaatkan data panel provinsi Indonesia periode 2015-2025 menggunakan metode analisis model regresi Fixed Effects OLS dan model Poisson untuk mengestimasi hubungan variabel independen terhadap jumlah kerusuhan, serta pendekatan Machine Learning Random Forest untuk memprediksi hotspot risiko pada 2025.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan (beta = 7,3898; p < 0,10) dan tingkat pengangguran (beta = 0,2404; p<0,10) berpengaruh positif terhadap eskalasi kerusuhan. Variabel kekerasan aparat juga terbukti memperburuk tingkat eskalasi sesuai prediksi State Repression Theory. Analisis Random Forest mengidentifikasi 10 provinsi dengan tingkat risiko tertinggi, didominasi wilayah metropolitan dengan ketimpangan dan pengangguran tinggi.

Jawa Timur provinsi dengan potensi kerusuhan tertinggi sebesar 10.49 memiliki nilai Gini Rasio 0,395, TPT 8, 53 dan kekerasan kepolisian 0,88. DKI Jakarta menyusul dengan potensi kerusuhan 6,38 memiliki Gini Rasio 0, 436, TPT 6,77 dan tindakan kekerasan aparat mencapai 1.44. Kedua provinsi memiliki pola serupa yaitu urbanisasi tinggi, ketimpangan tinggi, dan tekanan ekonomi masif. Ketiga faktor ini kemudian meningkat potensi kerusuhannya seiring dengan peningkatan kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Delapan provinsi lain yang memiliki potensi kerusuhan tinggi yaitu Banten, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Kalimantan Utara, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah dan, Sumatera Utara memiliki pola yang hamper sama dengan beberapa keunikan.

Hasil penelitian ini memperkuat hipotesis Kuznets (1955) tentang hubungan pertumbuhan dan ketimpangan, serta mendukung temuan Hassan et al. (2020) mengenai kontribusi ketimpangan ekonomi terhadap kerusuhan sosial di negara berkembang.

Temuan ini memberikan implikasi kebijakan penting bagi pemerintah mengenai perlunya program pemerataan ekonomi berbasis wilayah, pengurangan pengangguran melalui sektor formal, serta reformasi tata kelola aparat untuk menekan tindakan represif. Menggabungkan pendekatan ekonometrika dan pembelajaran mesin, penelitian ini menghadirkan model prediksi risiko yang dapat digunakan pemerintah sebagai sistem peringatan dini guna mencegah eskalasi konflik sosial di masa mendatang.

Facebook
Twitter
LinkedIn

Slide
BAKTI NUSA Siap Lepas 57 Penerima Manfaatnya dalam National Mission Bogor – BAKTI NUSA…
Apresiasi National Mission 2021, Anies Baswedan: “Sebuah Semangat yang Amat Baik” Bogor – Apresiasi…
Will it be Worth It? Will it be Worth It? – Long story short,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *