Sosok Guru di Persimpangan Hukum dan Kriminalisasi

Sosok Guru di Persimpangan Hukum dan Kriminalisasi

 

Jakarta – Muhammad Shirli Gumilang, Ketua Sekolah Guru Literat GREAT Edunesia, menjelaskan betapa penghargaan atas peran guru saat ini telah. Menurutnya dulu guru begitu disegani; kini, mereka sering kali tak lagi dihargai. Ketika murid melakukan kesalahan, guru tak lagi berani memberi hukuman karena takut terkena masalah hukum. UU Perlindungan Anak sering kali menjadi alasan bagi sebagian orang tua melindungi anak dari hukuman guru. Akibatnya, murid pun menjadi terlalu manja.

 

“Masih segar dalam ingatan kasus guru agama di Sumbawa Barat yang dipolisikan dan dituntut Rp50 juta oleh orang tua murid karena mendisiplinkan murid yang enggan salat Zuhur berjamaah. Atau kasus di Bengkulu, di mana seorang guru menjadi korban kekerasan, diketapel matanya oleh orang tua murid setelah menegur murid yang merokok. Ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus kriminalisasi guru di negeri ini,” terang Shirli. “Kondisi ini sangat berbeda dengan zaman dulu. Saat guru menghukum murid karena tidak disiplin, orang tua biasanya menerima tindakan tersebut, bahkan mungkin ikut menegur anaknya. Orang tua zaman dahulu sangat mempercayai guru, karena mereka yakin guru tidak akan memberikan hukuman tanpa alasan yang jelas,” paparnya.

 

Ia menjelaskan, para guru berada di persimpangan antara tanggung jawab untuk mendidik atau sekadar mengajar. Kesalahan sedikit saja bisa berujung pada masalah hukum. Akibatnya, banyak guru yang memilih untuk tidak lagi peduli pada akhlak murid. Mereka hanya fokus pada jam mengajar yang harus dipenuhi. Padahal, tujuan besar pendidikan adalah memanusiakan manusia.

 

Orang tua yang tidak terima anaknya dihukum mungkin berpikir bahwa bukan zamannya lagi mendisiplinkan anak dengan hukuman. Mereka mungkin berpandangan bahwa kesalahan adalah hal yang wajar, seperti slogan “kotor itu baik,” sehingga cukup ditangani dengan pendekatan positif. Dalam dunia pendidikan, pendekatan ini dikenal sebagai disiplin positif.

 

Tidak ada yang salah dengan disiplin positif, tetapi penting untuk diingat bahwa teori ini adalah hasil pemikiran manusia yang dalam penerapannya mungkin tidak selalu cocok dengan setiap situasi. Anak-anak memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga cara penanganannya pun berbeda. Ada anak yang bisa diatasi dengan pendekatan lembut, namun ada juga yang perlu hukuman untuk mendisiplinkannya. Penting untuk dicatat bahwa hukuman tidak sama dengan kekerasan. Hukuman yang diberikan secara wajar adalah sah, asalkan tetap dalam batas kewajaran.

 

“Dalam Islam, konsep ini dikenal dengan istilah ta’dib, yang berarti proses pendidikan yang fokus pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak. Berdasarkan konsep ini, tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga membentuk akhlak murid, termasuk meluruskan ketika murid melakukan kesalahan. Islam sangat menekankan pentingnya pembentukan akhlak, bahkan lebih tinggi dari ilmu. Dalam hal salat, misalnya, Nabi Muhammad saw. memerintahkan untuk mengajari anak salat sejak usia tujuh tahun. Jika di usia sepuluh tahun anak masih meninggalkan salat, Nabi memerintahkan untuk memberikan pukulan, tentu dengan cara yang tepat dan tidak berlebihan,” jelas Shirli.

 

Meskipun hukuman dibolehkan dalam pendidikan, guru harus tetap memperhatikan jenis kesalahan murid. Tidak semua kesalahan layak mendapatkan hukuman yang sama. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memahami jenis kesalahan murid agar dapat memberikan koreksi yang tepat.

 

“Dalam bukunya Prophetic Parenting: Cara Nabi saw. Mendidik Anak, Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid menerangkan bahwa kesalahan anak pada dasarnya terbagi menjadi tiga: pertama, kesalahan dalam pemahaman, di mana anak belum memahami sesuatu dengan benar; kedua, kesalahan dalam aplikasi, di mana anak belum terlatih dengan baik dalam melakukan sesuatu; ketiga, kesalahan yang terjadi karena anak sengaja melakukannya atau karena memiliki jiwa pemberontak,” tandas Shirli.

 

Setiap jenis kesalahan membutuhkan penanganan yang berbeda. Kesalahan pertama dan kedua mungkin lebih mudah ditangani, tetapi kesalahan ketiga memerlukan ketegasan agar anak menyadari bahwa apa yang dilakukannya salah. Meskipun hukuman dibolehkan, pelaksanaannya tetap harus mengikuti tahapan dan tata cara yang baik. Tahapan yang dianjurkan adalah memberi teguran dan nasihat terlebih dahulu. Jika tidak berhasil, barulah diberikan hukuman dengan cara yang wajar. Hukuman tidak boleh membahayakan anak, dan jika berupa pukulan, harus dilakukan dengan hati-hati, tidak keras, tidak pada organ vital, dan tidak dengan emosi. Hukuman fisik seperti ini hanya boleh diberikan kepada anak usia sepuluh tahun ke atas.

 

Shirli berharap orang tua dan guru bisa memahami bersama pentingnya hukuman tepat dalam pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang baik antara keduanya. Orang tua perlu memberikan kepercayaan penuh kepada guru dalam mendidik anak-anak mereka, tanpa membatasi kemerdekaan guru dalam menjalankan tanggung jawabnya. Sebagai pihak yang telah menerima kepercayaan dari orang tua, guru harus menjaga amanah tersebut dengan sungguh-sungguh, mendidik murid seperti mendidik anak sendiri. Dengan demikian, harmoni antara kasih sayang dan pendidikan dapat tercapai, dan tujuan pendidikan yang diharapkan bisa diwujudkan

 

Facebook
Twitter
LinkedIn

Slide
BAKTI NUSA Siap Lepas 57 Penerima Manfaatnya dalam National Mission Bogor – BAKTI NUSA…
Apresiasi National Mission 2021, Anies Baswedan: “Sebuah Semangat yang Amat Baik” Bogor – Apresiasi…
Will it be Worth It? Will it be Worth It? – Long story short,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *