Berislam dari Ritual Hingga Intelektual

Berislam dari Ritual Hingga Intelektual

 

Malang – Fenomena munculnya istilah Islam-liberal, feminis-Muslim, childfree, lesbian, gay, biseksual, transgender, queer/questioning, interseks, aseksual (LGBTQIA+) dan pluralisme agama adalah bagian dari globalisasi pemikiran sekaligus tantangan bagi Islam untuk memberikan cara pandangnya yang khas dan komprehensif sebagai kontra argumen. Isu ini menjadi serius justru karena ada kalangan umat Islam mengamini gagasan kesetaraan gender, persamaan semua agama, pelegalan nikah sejenis, dan lain-lain yang digaungkan oleh para pengusungnya. Sebagai contoh, ada muslim yang prihal ibadah rajin dan taat, namun secara intelektual meragukan syumuliyatul Islam atau membenarkan gagasan kaum liberalis. Bukan berarti saya memvalidasi mending orang yang tidak taat ibadah tapi secara pemikiran benar. Maka dimanakah justru letak permasalahannya?

 

Permasalahannya menurut Qowiyyun Amin, penerima manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara (BAKTI NUSA) adalah mengapa kesalehan ritual tidak sejalan dengan kesalehan intelektual, begitu pula sebaliknya. Bukan lagi apakah orang tersebut tergolong muslim atau kafir–meskipun bisa juga dijelaskan–tapi letaknya ada pada kesalahan berpikir dan cara pandang (worldview) yang digunakan atau kufur epistimologis.

 

“Alparslan Acikgence dalam buku Islamic Science towards a Definition, menyatakan bahwa seluruh tingkah laku manusia bisa dilacak sampai worldview-nya. Artinya secara sadar atau tidak, tindakan manusia merefleksikan atau berakar pada cara pandang yang digunakan. Jadi jika basis epistimologi dan pendekatan terhadap realitas yang digunakan tidak tepat  akan berpengaruh pada bagaimana ia menafsirkan fenomena tersebut,” ujar Amin.

 

Pengamalan Islam sebagai syariat berbeda dengan Islam sebagai cara pandang, karena pengamalan syariat tidak menjamin merubah cara pandang. Sedang Islam sebagai cara pandang menuntut seseorang untuk pertama-tama memahami syariat Islam dan akidah dengan benar. Secara sederhana, basic belief seorang muslim dimulai dari syahadat. Hal ini senada dengan pengertian cara pandang menurut  Abul A’la al-Mawdudi yang menggunakan istilah Islam nazariat (Islamic vision). Abul A’la berpendapat bahwa konsekuensi dari pernyataan syahadah membawa dampak pada seluruh kehidupan manusia. Ia melihat cara berislam dimulai dari syahadah karena syahadah adalah deklarasi keimanan sekaligus moral selanjutnya berimplikasi untuk menjalankan semua syariat, akidah dan akhlak dengan amal-amalnya termasuk pemikiran.

 

Lebih luas lagi Sayyid Quthb menamakan cara pandang dengan istilah at-Tasawwur al-Islami (Islamic Vision). Ia adalah akumulasi dari keyakinan dasar yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa yang terdapat dibalik itu. Yang dimaksud keyakinan dasar atau asasi adalah keimanan dan yang berkaitan dengan itu. Lalu,  yang dimaksud dengan yang terdapat di balik itu adalah, bahwa keyakinan Muslim tentang realitas ada yang tampak dan ada yang tidak.

“Sebagai contoh bagaimana seorang Muslim melihat orang jual gulai kambing di sebelah penjual sate babi misalnya, ia tidak saja memandang gulai tersebut hanya sekadar masakan (empiris) tapi bagaimana aspek kehalalan dari proses pembuatan gulai kambing itu (non-empiris). Jadi dalam memandang fenomena seorang Muslim yang ideal menggunakan konsep integral dua alam yaitu realitas empiris dan non empiris,” kata Amin.

 

Sedangkan worldview merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Inggris yang digunakan oleh al-Attas untuk memudahkan memahami definisi cara pandang Islam yang variatif dari berbagai tokoh intelektual Muslim. Al-Attas menegaskan bahwa Worldview of Islam itu pandangan yang integral antara aspek al-dunya dan al-Akhirah, dimana aspek akhirat adalah yang final.

 

“Dari definisi di atas kita bisa menegaskan bahwa cara pandang Islam (worldview) dimulai dari keyakinan penuh–tanpa paksaan, ikut-ikutan dan disertai ilmu—tentang syahadat yang berimplikasi pada baiknya trilogi keislaman; pemikiran (ilmu), keyakinan (iman) dan perbuatan (amal). Sehingga dalam memandang suatu realitas atau fenomena yang ada seorang muslim tidak memisahkan alam dunia dan Akhirat (tauhidi) serta menggunakan metodologi dan epistimologi yang berkelindan dengan Islam,” terang Amin.

 

Amin menegaskan jika hal tersebut yang membedakan berfikirnya seorang Mukmin dari orang kafir. Seorang Mukmin senantiasa mengkorelasikan segala sesuatunya kepada Allah (teosentrisme). Melihat hewan, tumbuhan, dan alam adalah makhluk Allah. Jika ia terus memupuk hal ini maka akan terakumulasi kemudian berkembang menjadi sebuah kesadaran, sikap dan pola pikir serta output-nya adalah perilaku baik (akhlak) termasuk dalam aktifitas ilmiah. Inilah alasan mengapa Islam tidak memisahkan antara agama, sains, dan politik.  Terbukti dalam sejarah Islam telah ditemukan berbagai disiplin ilmu, bukan hanya ditemukan, tetapi sejalan dengan tujuan syariat sehingga tidak merusak karena realitas mutlak dalam Islam adalah Allah (al-Haqq).

 

Berbeda dengan weltenscaung ala Barat yang cenderung sekuler karena bersandar pada rasio (antroposentris) mengabaikan nilai spiritualitas, dan diperkuat oleh spekulasi filosofis yang terbuka untuk segala bentuk perubahan sehingga konsep kebenaran menjadi relatif.

 

Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul  Clash of Civilization telah memberi peringatan tentang pergeseran sebab terjadinya konflik. Menurut Huntington, konflik hari ini terjadi karena aspek kultural. Kultural disini meliputi sejarah, nilai, adat istiadat, terutama prihal agama. Agama jika diperluas juga meliputi worldview. Maka pergulatan hari ini bisa kita katakan imbas dari pertarungan cara pandang. Oleh karena itu menjadi krusial upaya penanaman Islamic worldviewdisetiap pribadi Muslim melalui beragam institusi formal atau non formal sehingga upaya  mengembalikan cita-cita kejayaan peradaban Islam bisa dimulai dari memperbaiki konstruksi berpikir umatnya.

 

Kekacauan berpikir umat Islam terletak pada bagaimana pertama-tama ia memahami makna syahadat. Jika deklarasi keimanannya tidak disertai dengan ilmu  maka berimplikasi pada keimanan yang salah, untuk kemudian berdampak pada kebingungan berpikir. Namun berbeda ketika trilogi keislaman (ilmu-iman dan amal) nya benar, dalam arti memahami dengan ilmu dan bersumber dari Al-Quran dan hadist maka cara ia berpikir (amal) selaras dengan tujuan syariat. Ini berarti pula worldview Islamtelah menjadi basis berfikir dalam memandang suatu realitas dengan tidak memisahkan alam empiris (dunia) dan non empiris (Akhirat) atau tauhidi. Sehingga dengan begitu seorang Muslim tidak mempunyai standar kebaikan atau keburukan kecuali bersumber dari Al-Quran dan hadist (mutlak).

 

Hubungan weltenscaung Islam, trilogi keislaman dan cara berfikir seorang Muslim sebagai hasilnya, merupakan hubungan yang relasional dan kausalitas. Tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Berbeda dengan cara pandang barat yang bersifat spekulatif dan hanya mengandalkan akal semata. Sehingga Islam dalam memandang realitas jauh lebih komprehensif karena melibatkan kombinasi antara akal dan spiritual.

 

“Oleh karena itu, menjadikan Islam sebagai worldview adalah solusi bagi kekacauan berpikir umat Islam di era clash of worldview ini. Sudah menjadi tugas kita untuk menyebarkan dan menanamkan Islam sebagai cara pandang melalui beragam saluran, guna menjadi pondasi awal bagi peradaban Islam yang berintelektual,” tutup Amin.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn

Slide
BAKTI NUSA Siap Lepas 57 Penerima Manfaatnya dalam National Mission Bogor – BAKTI NUSA…
Apresiasi National Mission 2021, Anies Baswedan: “Sebuah Semangat yang Amat Baik” Bogor – Apresiasi…
Will it be Worth It? Will it be Worth It? – Long story short,…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *