Aksi Proteksi Lingkungan = Permasalahan Aksi Kolektif?
Oleh: Kangen Drivama WMJ, Kontributor
Aksi proteksi lingkungan yang paling menjadi perhatian adalah perubahan iklim melalui UNFCCC sejak 1992. Di skala global dulunya, aksi ini dimulai dengan Protokol Kyoto dan dilanjutkan dengan Bali Roadmap dimana keduanya sama-sama fokus memanggil komitmen negara-negara untuk mengurangi gas emisi rumah kaca. Selama periode ini, isu perubahan iklim selalu menemui tren dimana negara yang selalu berargumen bahwa “kami tidak dapat mengabaikan industri domestik”. Namun, perkembangan isu perubahan iklim membuat tren yang hari ini berbeda. Aksi proteksi lingkungan benar-benar disadari sebagai urgensi dam tidak peduli argumen proteksi industri. Sehingga penulis berpendapat aksi proteksi lingkungan BUKAN lagi permasalahan klasik kolektif.
Berikut alasan mengapa proteksi lingkungan bukan permasalahan aksi kolektif;
Negara mulai merasakan dampak perubahan iklim Isu perubahan iklim yang awalnya dinilai oleh sebagian para ahli adalah “isu buatan”. Golongan ini mengklaim bahwa adapun kenaikan suhu merupakan proses alam yang biasa dimana hal ini tidak diakibatkan oleh gas rumah kaca. Golongan ini berpendapat bahwa isu perubahan lingkungan tersebut adalah HOAX yang sengaja dibuat oleh China agar tidak terjadi perkembangan industri di negara lain. Sehingga golongan ini menolak adanya perubahan iklim dan segala upaya untuk memitigasi gas rumah kaca. Golongan ini disebut juga dengan Climate Change Denial.
Walaupun menolak adanya kebeneran perubahan iklim, dampak perubahan iklim pada faktanya dirasakan oleh negara. Dilansir dari kompas “Peningkatan suhu bumi memicu musim kemarau panjang, gelombang panas, dan kebakaran hutan seperti yang kini sedang terjadi di negara bagian California.” Sedangkan di Australia krisis iklim dimana Australia dilanda musim panas ekstrim, dengan suhu di beberapa tempat mencapai lebih 40°Celsius. dampaknya, kebakaran hutan marak dan diperkirakan kondisinya akan makin memburuk karena jutaan ikan di beberapa sungai mati karena kehabisan oksigen. Dampak perubahan iklim juga dirasakan di seluruh penjuru dunia (dengan bentuk bencana yang berbeda-beda). Secara Global diperkirakan, pada 2200 nanti, dampak ekonomi yang ditimbulkan dari emisi atmosfer tambahan akan mencapai angka $ 43 triliun. Jumlah tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh peneliti dari University of Cambridge dan the National Snow and Ice Data Center at the University of Colorado Boulder, dalam sebuah makalah yang diterbitkan September ini di jurnal Nature Climate Change.
Karena dampak nyata yang dirasakan oleh negara-negara, akhirnya seruan dari Climate Change Denial tidak begitu didengar. Faktanya, pada Paris Agreement yang digagas pada tahun 2015, tercatat hanya 2 negara yang tidak dapat mengikuti perjanjian ini. Selebihnya menyadari dan mengikuti upaya mitigasi peubahan iklim. China, India, dan AS yang normalnya selalu menjadi negara yang tidak berpartisipasi, pada perjanjian paris akhirnya menyepakati lobby untuk sama-sama bersepakat di Paris Agreement Dalam sejarah, ini adalah pertama kalinya 3 negara besar ini memiliki kesepakatan yang sama mengenai isu global. Aksi kolektif ini dapat memberikan gambaran pada kita bahwa upaya proteksi lingkungan bukan lagi masalah klasik. Negara-negara telah menyadari efek nyata dari isu perubahan iklim dan telah secara kolektif memitigasi isu tersebut.
Paris Agreement setelah AS keluar-Tetap aksi kolektif. Setelah kita dapat melihat pola dari Kyoto Protokol hingga Paris Agreement yang menggambarkan aksi kolektif tanpa ada masalah, barangkali kita memprotes “bagaimana dengan keluarnya AS dari paris agreement,? bukankah ini menggambarkan bagaimana aksi kolektif ini bermasalah?”
Pertama harus digaris bawahi bahwa keluarnya AS memang mempengaruhi efektifitas Paris Agreement. Namun, yang menarik untuk dilihat adalah keputusan untuk keluar dari Paris Agreement murni merupakan janji kampanye presiden Trump yang terpilih karena sistem elekoral, (bukan dari suara masyarakat mayoritas). Ini berarti keinginan AS untuk keluar dari Paris Agreement adalah dari Presiden Trump, bukan dari mayoritas warga AS. Analisis penulis didukung oleh data yang dikumpulkan oleh lembaga survei AS bernama Gallup dimana terdapat 66% orang di AS mengkhawatirkan tentang isu perubahan iklim. Dilain sisi, tren kekhawatiran dari isu perubahan iklim juga terjadi di partai politik AS. Di tahun 2000, menurut Gullub, telah terjadi jurang partisan antara partai Republikan dan demokrat diamana 46% dari partai demokrat peduli isu perubahan iklim sedangkan 29% republikan menyatakan peduli perubahan iklim. Di Tahun 2017 jurang persentase ini semakin jauh dimana selisih yang awalnya hanya 17% bergerak ke 48% dimana 66% dari partai demokrat setuju dengan perubahan iklim dan 18% dari republikan mengakhawatirkan perubahan iklim. Ini berarti, juga terjadi kenaikan jumlah kalangan politisi yang mengkhawatirkan isu perubahan iklim.
Diskurus publik AS dan perhatian partai politik, sayangnya tidak dilihat oleh Trump sebagai input politik. Trump seabagai President, tetap berjalan dengan janji kampanyenya, walaupun tidak didukung oleh masyarakat AS maupun partai politik sehingga tanggal 1 Juni AS tetap mengumumkan pembatalan komitmen AS di Paris Agreement. Akibatnya protes ditujukan oleh keputusan Trump ini baik dari dunia internasional maupun Domestik . Macron PM Prancis yang menyindir Trump dengan melalui pidatonya dengan satire “make our earth great again”. Sedangkan di tingkat domestik AS sendiri, akibat keputusan Trump CEO dari Tesla, Elon Musk, resign sebagai penasehat ekonomi Trump dan dewan inisiatif pekerja maunfaktur. Diplomat senior AS di China David Rank, juga ikut resign setelah keputusan Donald Trump keluar dari Paris agreement.
Keluarnya AS (pemerintah federal) dari Paris agreement tidak hanya menimbulkan aksi protes seperti diatas, melainkan juga menimbulkan pola yang uni secara politik real. Segera setelah deklarasi Trump, gubernur dari California, New York, dan Washington bergabung bersama untuk membentuk Aliansi Iklim AS, yang secara eksplisit merujuk pada komitment AS pada paris agreement. Banyak juga negara bagian dan kota di AS setelah bergabung pada aliansi atau mengekspresikan dukungan ke paris agreement dengan cara lain, dimana pemerintah regional berkomitmen untuk bertanggung jawab lebih dari $6,5 triliun dari PDB (dari 30% total PDB AS) untuk dana perubahan iklim setelah Trump membatalkan Paris Agreement. California bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menandatangani sebuah perjanjian dengan China untuk bekerja sama dalam hal perubahan iklim. Meningkatnya ketegasan badan-badan regional di AS juga dapat membuka kerjasama lainnya untuk pemerintah daerah dengan negara lain.
Dari semua fakta di atas, kita dapat melihat bahwa keluarnya AS memang mempengaruhi aksi kolektif proteksi lingkungan. Akan tetapi, adanya kesepahaman bersama tentang perlunya memproteksi lingkungan di antara negara-negara terbukti tidak membuat masalah yang besar. Justru pasca pembatalan paris agreement oleh pemerintahan federal, negara bagian AS menunjukkan untuk tetap berkomitmen dengan aksi proteksi lingkungan melalui kerjasama multiralteral. Ini berarti kerjasama dalam hal proteksi lingkungan tetap berlanjut, meski dengan atau tanpa adanya dukungan pemerintah federal AS. Inilah mengapa menurut penulis berdasarkan 2 alasan ini, aksi proteksi lingkungan BUKAN merupakan permasalahan aksi kolektif, melainkan memang murni upaya aksi kolektif untuk memproteksi lingkungan.
Referensi :
https://sains.kompas.com/read/2018/11/28/211244123/pakar-pemanasan-global-bikin-dunia-hadapi-6-bencana-sekaligus
https://www.dw.com/id/australia-dilanda-dampak-cuaca-ekstrim/av-47288601
Pielke Rojer Jr, 2017, Climate Change as Symbolic Politics in United States, IEEJ Energi Jurnal
Elkerbout Milan s,2017, Trump’Paris Exit A blow to climate politics, but a a boon to regional climate policy?
CPSE Thinking Ahead of Europe