Mengelola Diri, Sebuah Ikhtiar Para Guru
Oleh: Asep Sapaat, Kontributor
Hati adalah cerminan asli dari si pemiliknya. Baik atau buruknya perilaku guru sangat ditentukan oleh kesucian hatinya. Rasulullah saw. bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya dalam diri manusia ini ada segumpal daging. Jika benda ini baik, baiklah seluruh tubuhnya. Namun, jika benda itu rusak, seluruh tubuhnya akan menjadi rusak. Ketahuilah, benda itu adalah hati” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada guru yang memiliki hati sakit (punya penyakit hati), hati yang kasar atau mati (dikuasai nafsu, dunia menjadi tujuan hidup, melupakan akhirat), dan guru dengan hati yang selamat (QS al-Hajj: 52–54). Guru yang berhati selamat, jika disebut nama Allah dan dibacakan ayat-ayat-Nya, keimanan mereka bertambah kuat dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal (QS al-Anfal: 2). Selain itu, guru yang sujud tunduk patuh kepada Allah, senantiasa bertasbih dan memuji Tuhannya serta tidak berperilaku sombong, adalah penanda lain dari guru yang memiliki hati yang selamat (QS as-Sajdah: 15).
Ibnu Taimiyyah menegaskan, “Amalan badan tidak akan diterima tanpa perantara amalan hati. Karena hati adalah raja, sedangkan anggota badan ibarat prajuritnya. Bila sang raja buruk, akan buruk pula seluruh prajuritnya” (Majmu’ al-Fatawa, 11/208). Tegasnya, guru yang berhati bersih akan selalu condong pada kebaikan. Wajahnya teduh, senyum selalu terkembang di bibirnya, dan kiprahnya selalu bernilai maslahat untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Tak ada guru yang menjadi baik dengan sendirinya. Maka, diperlukan ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk mengelola diri. Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jelek adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, maka mungkin dia akan memberikannya kepadamu atau mungkin juga kamu akan membeli darinya atau paling tidak kamu mencium bau wangi di sekitarmu. Adapun pandai besi, maka kalau dia tidak membakar pakaianmu, paling tidak kamu mencium bau busuk di sekitarmu” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, guru harus konsisten beramal saleh. Allah Swt. berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, (dosanya) atas dirinya sendiri.” (QS Fushshilat: 46). Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya amalan baik memberikan cahaya pada hati, kecemerlangan pada wajah, kekuatan pada badan, tambahan pada rezeki, kecintaan di dalam hati-hati para hamba.”
Ketiga, senantiasa berzikir kepada Allah Swt. seperti firmannya: “Barang siapa berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya” (QS az-Zukhruf: 36). Saat guru hadapi masalah apa pun, ingatlah Allah. Tetaplah kembalikan kepada Allah. Jangan kembalikan kepada diri sendiri yang masih memiliki hati yang sakit dan kasar. Atasi masalah dengan landasan kebenaran (Qur’an dan hadis). Dengarkan kata hati, simak mata hati. Allah Swt. berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’d: 28). Wallahu a’lam bishawab.