Kesejahteraan Indonesia Ditinjau dari Keberagaman Aliran Pemikiran Islam

Kesejahteraan Indonesia Ditinjau dari Keberagaman Aliran Pemikiran Islam

Oleh: Kiki Dwi Setiabudi, Kontributor

Isu mengenai kesejahteraan sosial di Indonesia selalu ramai diperbincangkan hingga saat ini. Hal ini tidak terlepas dari masih banyaknya keberagaman latar belakang masyarakat, baik dari etnis, agama, cara pandang politik, latar belakang pendidikan, dan sosial. Dari adanya hal tersebut menjadi sebab masyarakat indonesia menghadapi berbagai macam masalah kesejahteraan sosial.

Dalam satu dasawarsa terakhir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di negara kita. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots) itu telah menarik perhatian semua orang tentang apa yang terjadi di negara yang terkenal kedamaian dan keamanannya ini. Berbagai konflik sosial yang terjadi merupakan bagian dari a dinamic chance dan karenanya bersifat positif demikian menurut Lewis Coser telah berubah menjadi negatif dan menimbulkan amuk massa yang beringas dan sulit dijegah.

Eskalasi konflik yang kian bertambah, berdampak pada berkembangnya konflik yang tidak hanya horizontal akan tetapi juga vertikal. Hal demikian menjadi pertanyaan besar bagi kebanyakan masyarakat di indonesia dalam mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan dalam mengurai penyebab dan latar belakang adanya konflik yang seakan muncul dengan berurutan tanpa kenal waktu merbak di hampir semua tempat di tanah air. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menemukan formula jitu untuk mencari solusi dan obat penawar.

Adanya bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang beragam, beragam pula faktor penyebab dan faktor pemantiknya. Adanya konflik di dalam masyarakat dapat disebabkan karena adanya faktor kepentingan, faktor sosial, faktor politik, pendidikan, kesehatan, faktor ekonomi, budaya, etnis, faktor agama dan ideologis. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering dianggap sebagai faktor yang dominan di banding dengan dua faktor yang disebutkan terakhir. hal tersebut terlihat dilapangan, bahwa konflik yang sering terjadi di lapangan kerap menggunakan pendekatan dan membawa simbol-simbol agama. seperti contoh adanya pembubaran pengajian, lalu perusakan tempat peribadatan, penyerangan dan amuk masa, atau bahkan pembunuhan terhadap penganut agama tertentu. Namun jika dikaji lebih dalam dan di analisi kembali bahwasanya konflik etnis, agama dan ideologi ternyata hanyalah menjadi faktor yang mengikuti atau mengekor dari adanya penyebab konflik yang lebih masif dan kompleks dengan membawa latar belakang kesenjangan sosial, kesenjangan kesejahteraan, ekonomi dan politik.

Meskipun adanya hal demikian, tidak ada salahnya jika kemudian teramat penting konflik yang terjadi dikarenakan faktor etnis, agama dan ideologis bagi umat beragama untuk mengkaji dan menemukanlangkah dan cara dalam menyelesaikan masalah secara efektif bagi penghayatan, pengamalan dan kebebasan dalam menjalankan sebuah ibadah sekaligus meredeka dalam menjalankannya dan menyebarkan ajaran agama ditengah masyarakat indonesia yang plural ini. Dasar aliran atau golongan Agama islam yang dibagi menjadi berbagai golongan, ada sekurangnya 73 Golongan yang telah di sampaikan oleh perwari hadist berdasarkan Sabda Nabi Muhammad Sholalohu ‘alaihi wa Sallam. Nabi Muhammad Sholalohi ‘alaihi wa Sallam Bersabda: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.”
Selain hal di atas, ada beberapa alasan mengapa kemudian keberagaman pemahaman dan aktifitas beragama terasa sangat penting untuk di kaji dan di analisis. Hal ini karena; agama disebabkan sempitnya pemahaman para pemeluknya baik secara prinsip maupun secara potensial yang berpeluang menyulut konflik fan pertentangan. Maka kemudian akan wajar jika banyak para ahli dan ilmuwan sekuler yang mengatakan bahwa agama adalah candu atau agama dijadikan sebagai biang kerusuhan.

Dengan demikian sinyal elemen seperti ini terkesan berlebihan dan cenderung menghakimi salah satu golongan dan pemahaman tertentu, akan tetapi satu hal yang pasti adalah seberapa banyak kita dengar dalam penelitian dan dalam argument baik yang disampaikan secara langsung atau di tulis didalam buku maupun didalam media sosial menunjukan apresiasi dan interkoneksi antara golongan dan faham dalam beragama saling melengkapi dan mendorong baik dalam urusan horizontal maupun dalam agenda vertikal. Hal tersebut berpeluang menjadi faktor pemersatu sosial dan juga berpeluang menjadi unsur kemanusiaan. Bagi dalam mereda konflik atau bahkan dapat menimbulkan adanya konflik.

Salah satu lembaga yang bergerak dalam menghimpun dan berusaha menyatukan berbagai perbedan adalah Jama’ah Shalahuddin yang merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kerohanian Islam yang bergerak dalam bidang Dakwah. Jama’ah Shalahuddin tidak hanya menaruh perhatian terhadap dakwah kampus semata namun akan tetapi dakwah Jama’ah Shalahuddin memberikan perluasan makna dalam gerak dakwahnya, salah satunya dengan dakwah inklusif di berbagai kalangan umat muslim, yakni dengan berkolaborasi dengan berbagai ormas islam dan organisasi ataupun lembaga dakwah islam yang ada Indonesia, hal ini diharapkan dapat menjadi wadah persatuan dan kolaborasi dalam aspek kebaikan beragama dan aspek bernegara.

Bentuk kepeduliaan UKM Jama’ah Shalahuddin dalam bidang persatuan dan kolaborasi adalah pembentukan FDK UGM (forum dakwah kampus se-UGM) terlibat secara langsung dalam agenda koalisi umat muslim se-UGM, tergabung di aliansi mahasiswa muslim se-yogya, tergabung dalam forum forum silaturahim lembaga dakwah kampus s-indonesia (FSLDK), badan koordinasi lembaga dakwah kampus s-indonesia (BKLDK).

Keberagaman program serta kolaborasi dengan berbagai organisasi keagamaan baik internal kampus maupun eksternal kampus yang dilaksanakan LDK UKM Jama’ah Shalahuddin tersebut sudah berjalan baik, meskipun demikian, beberapa kegiatan yang dilakukan personil yang menjadi bagian dari stake-holder lembaga ini yang dipandang bersinggungan dengan politik ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap lembaga ini. Kegiatan yang diikuti aktivis yang dianggap ikut mempengaruhi persepsi publik tersebut dapat dipaparkan berikut ini.

Pada akhir 2016 terjadi aksi massa yang besar di ibu kota jakarta dengan digelarnya Aksi Bela Islam III atau yang lebih dikenal dengan aksi 212. Aksi massa ini merupakan buntut dari tuntutan massa atas Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok untuk dipenjarakan atas ucapannya di kepulauan seribu pada 27 september 2016 yang menyinggung surat al maidah ayat 51. Pidato tersebut menjadi viral dikalangan masyarakat setelah videonya diunggah oleh Buni Yani di medi sosial. Kemarahan masyarakat pun semakin memuncak dengan banyaknya laporan kepada pihak berwenang dalam hal ini Kepolisian, atas tuduhan penistaan agama islam. Muncul berbagai demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia untuk memberikan tekanan kepada pihak Kepolisian untuk segera menindak laporan tersebut dan segera menjebloskan saudara Ahok ke penjara.

Dampak dari adanya Aksi Bela Islam III atau 212 ini yaitu bola kemarahan masyarakat muslim bukan pada sosok utama Ahok sebagai kunci utama pemantik konflik, melainkan juga kepada rezim Pemerintah yang saat ini berkuasa. Hal ini dikarenakan Ahok diajukan kembali menjadi calon Gubernur DKI dengan diusung oleh partai yang sama dengan partai utama yang mengusung rezim saat ini.Saling hujat antara kubu pendukung pemerintah dengan kelompok masyarakat yang mengatas namakan GNPF Ulama mempertajam dan memperruncing masalah. Slogan “anti kebhinekaan”, “anti toleransi”, “anti Pancasila” sering dilontarkan oleh kubu pemerintah kepada kelompok massa yang kontra dengan Ahok. Begitu pula banyak tudingan yang dilotarkan olehkelompok massa kontra dengan Ahok kepada kubu pemerintah dengan slogan “antek cina”, “Sembilan Naga” menjadi hal biasa yang kerap kita dengar di media-media sosial.

Semakin berjalannya waktu, bahkan setelah Ahok dinyatakan sebagai tersangka penista agama dan akhirnya divonis, dua kutub ini ternyata tetap berjarak satu dengan yang lain. Tidak dipungkiri lagi telah terjadi polarisasi ditengah masyarakat Indonesia antara kubu nasionalis dengan kubu agamis yaitu Islam. Ali Rif’an Direktur Riset Monitor Indonesia, menyebut adanya polarisasi diantara masyarakat sebenarnya terjadi sejak Pilpres 2014 yang terus bergulir hingga kasus Ahok 2016, serta terpolar dengan resonansi yang besar pada Pilpres 2019 yang lalu. Salah satu bentuk polarisasi semakin tampakterjadi ketika banyak elite yang menyerukan bahwa masjid tidak boleh jadi panggung politik. Kemudian juga muncul rekomendasi ustadh dan da’i oleh Kementrian Agama, hal ini dianggap massa yang kontra pemerintah sebagai upaya politis rezim untuk menghambat peran dan gerak elite dari kubu kontra pemerintah terutama yang hadir dalam Aksi 212 silam.

Selanjutnya adalah, terkait dengan isu masjid tidak boleh dianggap sebagai tempat yang membahas politik serta rekomendasi da’i yang dilakukan oleh Kemenag yang dianggap tidak merangkul ustad dan ulama yang tergabung dalam 212, berarti ada aspek tempat ibadah dalam hal ini masjid dianggap sebagai tempat yang potensial untuk melakukan agitasi, provokasi kepada jamaah. Selain itu ada aspek figur yang dianggap juga memainkan peran agitatif oleh Kemenag dengan mengeluarkan keputusan rekomendasi tersebut.

Jika ditarik dalam konteks penelitian, masjid memiliki peran penting dalam memframing massa dalam hal ini jama’ah, tidak terkecuali masjid kampus UGM. Masjid Kampus UGM mempunyai potensi hal framing massa, seperti halnya beberapa bulan yang lalu terjadi penolakan beberapa pembicara yang dihadirkan oleh pihak takmir masjid kampus UGM dan lembaga dakwah kampus dalam hal ini UKM Jama’ah Shalahuddin dalam rangka kajian di bulan ramadhan tahun 2018 bahkan ditahun setelahnya. Beberapa pembicara yang ditolak seperti wakil ketua DPR RI Fahri Hamzah, jubir HTI Ismail Yusanto yang juga alumni UGM, Bapak Gatot, dan bahkan Pak Amien Rais selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM pun sempat ditolak. Banyak isu Sosial dan Politik yang berkembang terkait hal ini, selain itu adanya dugaan yang dilontarkan oleh Fahri Hamzah, mengenai penolakannya ini berasal dari ‘istana’. (Abyan, 2019).

Bumbu politik mengenai politisasi Lembaga Dakwah Kampus dan UKM Jama’ah Shalahuddin UGM semakin menjadi, yakni dengan adanya kasus penolakan pembicara tersebut. Hal ini dikarenakan dan didasari keinginan menyatukan kelompok yang berbeda, menjadikan Jama’ah Shalahuddin ini memiliki eksistensi sebagai wadah berbagai pergerakan mahasiswa islam. Hingga saat ini, Jama’ah Shalahuddin UGM dihuni mahasiswa islam dari berbagai background gerakan islam. Seperti mahasiswa Muhammadiyah, NU, Salafy, HTI, Tarbiyah, Wahdah Islamiyah, HMI, KAMMI. Beragamnya latar belakang ini tak jarang membawa tujuan ideologi dan politis masing-masing gerakan.(Abyan, 2019) Hal ini didasari dengan berbagai faktor, pertama gerakan-gerakan tersebut merupakan sayap-sayap politik dari partai tertentu. Kedua, setiap gerakan memiliki afiliasi politik masing-masing. Sebagai contohnya KAMMI yang sangat dekat dengan ideologi PKS atau NU yang dekat dengan politik PKB, serta Muhammadiyah yang dekat dengan PAN.

 

Di tengah dinamika Lembaga Dakwah Kampus (LDK) keterlibatannya dengan polarisasi yang terjadi saat ini, muncul juga pandangan bahwa lembaga seperti ini digunakan sebagai sarang radikalisme yang tumbuh subur di kampus. Sebagai contohnya hasil temuan atau laporan oleh NGO Setara Institute tahun 2017 yang menyebutkan kampus terutama masjid kampus menjadi sarang radikalisme. Notabene masjid kampus sebagai tempat bernaung para aktivis dakwah kampus. Selain itu terdapat pula temuan dari Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) yang juga menyebutkan paham radikalisme sudah masuk kedalam kampus (Abyan, 2019). Tentu hal ini bukan suatu hal yang selaras dengan semangat kebangsaan dan semangat akademis yang ada dikampus, menjadi sangat disayangkan ketika mahasiswa yang harusnya memiliki pemikiran jernih dan gemilang untuk kemajuan bangsa justru teracuni pemikiran sempit radikalisme.

Referensi:

Nugraha, M. Abyan. 2019 Pemaknaan Filantropi Sosial UKM LDK Jama’ah Shalahuddin UGM. Skripsi, Yogyakarta, UGM.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/02/22/n1e3e3-jalan-panjang-lembaga-dakwah-kampus-2habis,

https://almanhaj.or.id/453-kedudukan-hadits-tujuh-puluh-tiga-golongan-umat-islam.html diakses

 

Slide

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *