Sebuah Kisah Milk to Milk

Sebuah Kisah Milk to Milk

Selama ini, kita sudah tidak asing dengan perumpamaan air susu dibalas dengan air tuba bukan? Perumpamaan itu acap kali dikaitkan dengan seseorang yang menyalahgunakan kebaikan seseorang, mungkin saja ia menerimanya, namun ketika ia diminta untuk menolong rekannya yang telah menolong itu, ia membalasnya dengan keburukan. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang demikian. Aamiin.

 

Saudaraku, hari ini saya akan sedikit sharing terkait peribahasa yang bertolak belakang dengan peribahasa di atas. Pernahkah saudara membaca peribahasa tentang “Milk for Milk” atau air susu dibalas dengan air susu? Jika belum, maka saya akan berbagi kisah tersebut. Baca sampai habis ya kisahnya 🙂

 

Di jazirah Arab, suatu hari, Ibnu Jad’an pada musim semi keluar dari kediamannya. Ia melihat bahwa untanya sangat gemuk dan menghasilkan susu yang amat banyak. Setiap kali anak unta mendekat dan ingin menyusu pada induknya itu, susu yang dihasilkan pun mengucur berlimpah. Dari ketinggian pun, ia juga melihat beberapa anak unta yang mengantri di belakang induk unta tadi untuk menyusu. Pada saat itu pula, ia teringat pada tetangganya yang fakir dan memiliki tujuh anak. Maka, dalam hati, ia berkata “Demi Allah, aku akan menyedekahkan unta dan anaknya ini untuk tetanggaku”. Ia teringat Q.S. Al Imran ayat 92 yang artinya “Kamu tidak akan sampai pada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”. Karena ia amat mencintai untanya itu, maka keesokan harinya ia membawa unta itu beserta anaknya untuk diberikan kepada tetangganya yang fakir tadi. Ia pun mengetuk pintu rumah tetangganya dan memberikan unta-unta tadi sebagai hadiah. Pada detik itu juga, tetangganya sangat gembira sampai speechless. Hari-hari berikutnya, tetangga yang fakir tadi memanfaatkan unta tersebut untuk mengangkut kayu, dan menjual unta yang sudah cukup usia. Dengan begitu, tetangga yang fakir tadi dapat memperoleh harta yang banyak dan dapat mencukupi kebutuhannya.

 

Tahun pun berganti, musim pun berlalu dan musim semi telah berakhir. Musim panas tiba dengan membawa kekeringan. Tanah mulai pecah-pecah dan banyak warga yang mulai mencari air hingga ke gua maupun lorong yang dalam di padang pasir. Suatu hari, Ibnu Jad’an memasuki lorong untuk mencari air minum. Sementara itu, tiga anaknya menunggu di luar lorong. Dalam lorong yang gelap, ia tersesat dan tak bisa keluar. Di luar lorong, ketiga anaknya menunggu hingga putus asa selama tiga hari. Salah satu dari mereka ada yang mengira bahwa ayah mereka dipatuk ular dan meninggal dunia. Atau mungkin ayah mereka tersesat dalam lorong tersebut kemudian celaka. Benar saja, setelah tiga hari ketiga anaknya pulang. Karena rakus, mereka segera membagi-bagi harta peninggalan ayahnya. Mereka juga teringat bahwa ayahnya dulu pernah memberikan unta pada tetangga yang fakir. Mereka pun bermaksud untuk mengambil unta yang telah diberi oleh ayahnya dan menggantinya dengan unta lain, atau jika masih tidak mau, mereka akan mengambilnya secara paksa. Mengetahui hal tersebut, tetangga fakir itu pun geram dan bermaksud untuk melapor ke Ibnu Jad’an, namun anaknya berkata “ayahku sudah mati”.

 

Seakan tak percaya dengan hal yang didengarnya, tetangga fakir itu heran dan memutuskan untuk mendesak anak Ibnu Jad’an untuk mengantarkan ia ke tempat dimana Ibnu Jad’an menghilang, sebagai gantinya tetangga fakir itu bersedia memberikan untanya. Setelah sampai di tempat, ia mengambil tali, menyalakan lilin, dan mengikatkan diri di luar lorong, kemudian ia memasuki lorong tersebut dengan merayap, merangkak, hingga berguling. Kemudian ia mencium aroma lembab dari tempat yang gelap. Ia juga mendengar suara rintihan. Ia pun meraba tanah hingga tangannya menyentuh lumpur, ia pun menemukan Ibnu Jad’an, memeriksa nafasnya, dan berusaha untuk keluar dengan menarik tubuh Ibnu Jad’an. Sebelumnya, ia mengikat mata Ibnu Jad’an dengan kain terlebih dahulu sebelum ke luar lorong agar matanya tidak silau terkena sinar matahari. Di luar lorong, ia melarutkan kurma dan meminumkannya ke Ibnu Jad’an. Setelahnya, Ibnu Jad’an dibawa ke rumah si tetangga fakir, sementara anak-anaknya tidak tahu bahwa ayahnya masih hidup.

 

Setelah keadaan Ibnu Jad’an sudah cukup membaik, si tetangga pun bertanya bagaimana cara Ibnu Jad’an tetap hidup selama seminggu di dalam lorong yang gelap dan tidak mati. ibnu Jad’an pun bercerita bahwa ia tersesat dan mencari jalan keluar namun tetap tidak ditemukan, ia pun letih dan merasa lapar, ia menjangkau air yang dapat dijangkau dan meminumnya. Namun tetap saja air itu tak mampu untuk membuatnya kenyang. Setelah tiga hari, ia merasa lapar yang sudah tak tertahankan. Karena sudah tak ada tenaga lagi untuk berjalan, ia pun pasrah, menyandarkan dirinya, dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Saat itu juga, ia tiba-tiba merasakan hangatnya air susu yang tertuang pada mulutnya. Ia pun duduk tegak, ternyata ada sebuah wadah di kegelapan yang tidak ia lihat dan mendekat ke mulutnya. Ia pun minum sampai kenyang. Wadah itu mendatanginya tiga kali sehari. Namun, sejak dua hari yang lalu, wadah itu berhenti memberi susu, dan ia tidak tahu apa sebabnya.

Kemudian, si tetangga berkata “seandainya kamu tahu apa sebab terhentinya, pasti kamu heran. Anak-anakmu mengira kau sudah mati. Mereka menemuiku dan meminta unta yang darinya Allah memberimu minum selama kau berada di lorong yang gelap itu”.

 

Berdasarkan cerita di atas, dapat diketahui bahwa orang muslim itu berada di bawah naungan sedekahnya. Allah berfirman dalam surah Ath-Thalaq ayat 2-3 bahwa “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka”. Maka, hendaknya kita senantiasa menyisihkan sebagian harta kita, terlebih lagi harta yang amat kita cintai untuk digunakan di Jalan-Nya. Tapi, tentu saja harus dengan ikhlas. Pun juga dalam menolong orang yang sedang kesusahan, hendaknya tanpa memikirkan dan mengharapkan imbalan apapun, walaupun dibalas dengan air tuba atau air susu, kita tidak perlu memikirkan hal itu. Insyaa Allah sekecil apapun kebaikan kita, walaupun hanya sebesar zarrah, Allah akan menyukainya. Semoga kita termasuk ke dalam Hamba Allah yang ringan bersedekah. Aamiin. (derakhu)

Slide

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *