Sentuhlah Anak Tepat di Hatinya
Oleh: Adi Setiawan, Kontributor
Anak tidak dapat memilih di keluarga mana ia dapat dilahirkan. Jika anak dapat memilih di keluarga mana ia dapat dilahirkan tentunya ia akan memilih di keluarga yang penuh limpahan kasih sayang. Namun itu semua tidak dapat kita prediksikan. Tidak pula semua anak di dunia ini terlahir dengan memiliki keluarga yang utuh, Mengapa? Ada yang disebabkan oleh perceraian hidup, atau kematian yang merenggut salah satu orangtua, ada yang memiliki ayah atau ibu yang lebih dari 1. Bahkan ada pula yang ditinggalkan oleh orangtua kandungnya dengan dalih tak memiliki kemampuan untuk merawat anaknya sendiri sehingga dititipkan kepada orang lain.
Kemampuan? Ya, saat orang tua tak lagi mampu membesarkan mereka dengan dalih apapun, maka anak tumbuh dipelihara oleh anggota keluarga lain. Tentu saja oleh keluarga yang mampu memeliharanya. Sehingga anak akan merasakan perbedaan karena tidak dirawat oleh orang tua kandungnya sendiri.
Sama halnya dengan guru, mereka memiliki kadar kemampuan yang berbeda-beda. Baik dalam pembelajaran, komunikasi, untuk menatap wajah peserta didik, mengusap rambut, ataupun menyentuh bahunya. Atau bahkan dalam memberikan kalimat-kalimat pujian dan mengucapkan kalimat-kalimat positif. Ini menjadi bahan renungan pada diri kita sendiri, mari kita tanyakan ke diri sendiri seberapa sering kita mampu melakukannya?
Mungkin kita sering mendengar istilah anak itu seperti kertas putih yang kosong ketika pertama kali dilahirkan, tinggal bagaimana kita sebagai orang dewas mampu mengarahkan dan akan memberikan coretan atau catatan yang seperti apa terhadap kertas tersebut. Anak pada dasarnya belum tahu apa-apa. Dia pun tak meminta dilahirkan dalam keadaan keluarga yang tak lengkap. Dia hanya butuh kehadiran orang yang memperhatikan, dan orang yang mampu memberikan curahan kasih sayang untuknya.
Jika di dalam rumah belum dia dapatkan, anak pasti akan berpikir dia harus menemukan dan dapat mengambil bentuk kasih sayang dari yang lain. Seperti mengekspresikan dirinya ke dalam cara yang orang dewasa anggap kurang baik (menjadi anak nakal). Itu dia lakukan hanya sekadar untuk mendapatkan sebentuk perhatian dan kasih sayang.
Baginya, dengan dia berbuat nakal maka guru akan mendekat kepadanya, mau menyapa dan berbicara padanya. Dengan lebel nakal tersebut dia merasa mendapatkan perhatian. Guru akan sering memanggilnya, dan dekat-dekat berada di sisinya. Sehingga timbul di benaknya, “oh jadi dengan berbuat itu, dengan aku nakal, guruku akan terpusat perhatiannya padaku”. Atau, “Mengapa ya kalau saya bisa membaca satu kalimat, guru tidak mau memuji saya? Padahal, susah payah saya berjuang untuk selalu berlatih mengeja huruf per huruf, kata demi kata.
Pertama kali saya hadir sebagai konsultan relawan di sekolah SDN 227 Bengkulu Utara sangat kaget karena hampir semua guru bercerita kepada saya bahwasanya anak-anak disini hampir semua nakal-nakal dan sulit untuk dikendalikan. Saat belajar saja tidak mau memperhatikan pak, sukanya main-main. Perlu kesabaran dan perhatian yang sangat ekstra terhadap anak-anak seperti ini gumam saya dalam hati. Namun saya percaya jika kita terus menciptakan suasan yang positif, mampu berkawan dengan mereka, dan mampu membangun kedekatan dengan mereka bukan hal mustahil mereka akan berubah.
Berangkat dari cerita tersebut saya coba untuk sering-sering mendekati peserta didik, memberikan berbagai macam permainan. Tanpa ragu saya yang memulai dan duduk bersama mereka ketika mereka sedang beristirahat atau sedang kumpul-kumpul. Saya coba pandang kedua matanya.
Menciptakan pola pendekatan terhadap peserta didik bukanlah hal yang mudah perlu ketekunan dan perubahan pola pikir yang berbeda, apa lagi di daerah masih saja ada guru yang beranggapan biarlah anak orang lain ini, untuk apa kita mati-matian mencurahkan segala perhatian yang kita punya kepadanya. Ahhhh,,, tak habis pikir saya, kok masih saja ada seorang guru yang berpikiran seperti itu.
Beberapa bulan saya disini hampir setiap hari mata saya tertuju kepada sosok anak bernama Prawira namun anak-anak disini sering memanggilnya dengan sebutan cilik. Dia adalah siswa anak kelas 3 yang terkenal sangat sulit diatur. Cilik terkenal anak yang tidak mau menulis bahkan membaca dan berdiam diri di kelas pun ia enggan.
Suatu ketika anak kelas 3 mendapatkan tugas untuk menulis, namun cilik seperti biasanya tidak mau menulis dah bahkan sering berlari-lari ke luar kelas. Saat cilik melakukan hal seperti ini dan dia tak mau menulis, sering terdengar ucapan dari guru, “ Masa seperti itu saja tidak mau, susah sekali kamu ini untuk belajar”. Kalimat yang menusuk hatinya secara bertubi-tubi pada cilik. Semestinya, perhatikan lebih baik anak, cari tahu mengapa dia tidak mau menulis, adakah kesukaran yang dialaminya?
Mari biasakan mendekati siswa, berjalan ke arahnya, duduk disampingnya dan menanyakan tentang kesehariannya dan apa yang kita bisa bantu terhadapnya. Jangan gengsi untuk melemparkan pujian kepadanya atas segala yang sudah dia kerjakan, sampaikan padanya, “Hebat, kamu Nak, bapak bangga terhadapmu.” Bila dia tetap seperti itu dan tidak mau, berikan sentuhan lembut di kepala atau pundak sang anak. Ajak dia untuk menjadi kawan atau sahabat kita.
Terus berikan usapan lembut di kepala dan bahunya. Juga sampaikan selalu kalimat positif kepadanya. Sebagai seorang pendidik carilah terus sisi baik yang dimiliki anak itu, tentu ada dan pastinya banyak sekali. Karena itu adalah tugas kita, dengan kemauan dan kemampuan sebagai pendidik, kitalah yang berhak mendidik dengan penuh kasih sayang siswa. Sentuhlah siswa dengan hati dan lakukan semuanya dari hati karena apa yang berawal dari hati maka akan kembali ke hati.