Belajar Merawat Ketahanan Keluarga dari Kisah Nabi Ibrahim Refleksi Hari Keluarga Nasional 2023
Oleh: Andi Ahmadi, Kontributor, Penggiat Literasi Keluarga, Fasilitator Keluarga Madaya (Mandiri & Berdaya) Dompet Dhuafa
Peringatan Hari Keluarga Nasional tahun ini sangat spesial karena bertepatan dengan Perayaan Iduladha 1444H. Disebut spesial karena sejarah Iduladha melibatkan sebuah keluarga ideal yang menjadi teladan, yaitu keluarga Nabi Ibrahim. Salah satu momen penting yang terjadi dalam sejarah lahirnya hari raya kurban adalah dialog antara Ibrahim dan Ismail menjelang proses penyembelihan.
Suatu ketika Ibrahim memanggil anaknya, Ismail. “Wahai anakku,” ucap Ibrahim dengan penuh kasih sayang. “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu, Nak?” sambungnya dengan nada yang agak berat.
Ibrahim sangat yakin bahwa mimpi tersebut datang dari Allah. Meskipun demikian ia tidak serta merta langsung memanggil dan menyembelih anaknya. Ibrahim justru mengajak putranya untuk berdialog dan menanyakan pendapat terkait mimpinya. Sebagai seorang nabi sekaligus kepala keluarga, bisa saja ia memilih untuk langsung mengambil keputusan. Nyatanya Ibrahim lebih memilih cara lain. Ia ingin mengajarkan bagaimana sikap seorang pemimpin keluarga dalam mengambil sebuah keputusan.
Dialog Ibrahim bersama Ismail bukanlah dialog basa-basi tanpa makna. Dialog tersebut adalah jembatan yang menghubungkan hati seorang ayah dengan anaknya hingga bertemu dalam sebuah titik yang bernama cinta. Bukan cinta yang semu, melainkan cinta yang hakiki. Cinta itulah yang pada akhirnya menumbuhkan rasa saling percaya antar keduanya.
Kepercayaan Ismail kepada ayahnya tersebutlah yang akhirnya melahirkan sebuah jawaban yang mengagumkan. “Wahai ayahku,” ucap Ismail seketika setelah mendengar cerita ayahnya. “Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar,” jawab Ismail dengan penuh keteguhan hati. Dialog yang sangat mengharukan tersebut pada akhirnya Allah abadikan dalam Al Quran surat As-Shaffat ayat 102.
Melalui proses dialog Ibrahim dan Ismail menemukan hakikat sejati dari sebuah ikatan keluarga, ikatan batin antara ayah dan anak. Setiap kata yang terucap dari bibir mereka menjadi kesempatan untuk menguatkan cinta di antara mereka. Setelah melalui proses dialog tersebut mereka merasa tenang dan merasa tidak sendirian dalam menghadapi ujian, melainkan menyatu dalam keyakinan pada kehendak Allah.
Dalam konteks ketahanan keluarga, apa yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail adalah implementasi dari salah satu komponen ketahanan keluarga: ketahanan sosial. Ketahanan keluarga sendiri merupakan kemampuan untuk bertahan atau beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang senantiasa berubah secara dinamis serta memiliki sikap positif terhadap berbagai tantangan kehidupan keluarga (Wals, 1996). Adapun indikator dari komponen ketahanan sosial antara lain adalah melibatkan anggota keluarga dalam proses pengambilan keputusan, saling menghargai satu sama lain, serta senantiasa berkomitmen mengutamakan kepentingan keluarga (Sunarti, 2021).
Pudarnya keharmonisan dalam keluarga salah satunya adalah karena komunikasi yang tidak efektif. Kurang efektifnya komunikasi dalam keluarga akan memicu pertengkaran antara suami dan istri yang kemudian bisa berujung pada perceraian. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2022 menunjukkan bahwa sebanyak 284.169 kasus perceraian (63,41% dari total kasus) disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran.
Kurangnya komunikasi di lingkungan keluarga juga akan berdampak pada hubungan orang tua dan anak. Anak yang jarang diajak ngobrol atau dialog bisa menyebabkan kurangnya koneksi emosional dengan orang tuanya. Akibatnya anak merasa kurang dekat dengan orang tuanya, sulit membuka diri, serta kurangnya rasa percaya anak kepada orang tuanya.
Kisah Ibrahim dan Ismail menjadi pengingat bagi kita akan pentingnya dialog dalam mahligai keluarga. Pembiasaan berdialog dengan anggota keluarga akan mendorong kita terlibat dalam percakapan yang terbuka, jujur, dan tulus. Melalui dialog kita juga dapat membangun jembatan yang akan menyatukan hati, di mana setiap anggota keluarga merasa didengar, dihargai, dan dicintai.
Selamat Hari Keluarga Nasional.
Referensi:
Sunarti, Euis. (2021). Inventori Pengukuran Keluarga. Bogor: IPB Press.
Walsh, Froma. (1996). The Concept of Family Resilience: Crisis and Challenge. Fam
Proc, 35: 261 -268.