Siapa yang Akan Jadi Guru di Hari Itu?
“Wah, hari ini Rizky lagi deh yang jadi guru, Zah,” ujar Fatiur sambil menghampiri saya yang sedang berjalan menuju kelas setelah menikmati makan siang.
oleh: Amini Utami, Pengajar di SMART Ekselensia Indonesia
Ya, siang itu saya memang memperhatikan kalau Rizky belum menyelesaikan makan siangnya bersama beberapa orang teman sekelasnya. Apa hubungan makan siang dengan menjadi guru? Bukankah harusnya saya yang setelah makan siang ini mempunyai jadwal mengajar di kelas mereka? Mengapa Fatiur berujar seperti itu?
Ide ini muncul begitu saja. Suatu ketika saya menyelesaikan makan siang lebih cepat dari biasanya sehingga saat saya memasuki kelas sebagian besar siswa belum masuk. Hanya ada beberapa siswa yang sedang asyik bersenda gurau. Ketika melihat banyak kursi siswa yang masih kosong, saya memutuskan untuk duduk di samping salah seorang siswa. Mengajak mereka bercerita. Satu per satu siswa yang lain masuk dan menduduki kursinya masing-masing.
Lima menit menjelang bel masuk berbunyi, tersisa empat kursi kosong, yang artinya masih ada empat siswa belum memasuki kelas. Tanpa perencanaan tiba-tiba saja terlontar kalimat, “Siapa yang telat dan enggak kebagian kursi, jadi guru, ya. Ustazah mau merasakan jadi siswa hari ini.”
“Beneran, Zah?”
“Ustazah mau jadi siswa? Terus yang ngajar kita siapa?”
“Tugas yang jadi guru apaan, Zah?” para siswa langsung berkomentar.
Namanya juga ide dadakan, saya jadi bingung saat ditanya para siswa.
“Nanti gurunya bertugas membuka pelajaran dan memberikan motivasi buat siswanya. Ustazah ikutan jadi siswa. Yang ngasih materi tetap Ustazah,” jelas saya.
“Wah, seru nih!” seorang siswa berkata sambil langsung mengambil posisi duduk. Takut tidak kebagian kursi.
Seorang siswa tiba-tiba saja beranjak dari posisi duduknya dan berjalan keluar kelas. Saya sempat berpikir mengapa dia malah meninggalkan kursinya, sedangkan teman-temannya berebutan untuk duduk.
“Ayo buruan masuk. Yang terakhir masuk dan tidak kebagian kursi nanti bakalan jadi guru lho!”
Oh, ternyata ia ingin mengingatkan teman-temannya yang masih berada di luar kelas.
Beberapa siswa yang masih berada di luar kelas pun berlari menuju kelas. Berusaha sekuat tenaga dan secepat mungkin menemukan kursi yang masih kosong. Tak peduli harus bertabrakan dengan kursi atau meja. Yang terpenting bagi mereka saat itu adalah menemukan kursi untuk duduk dan menghindari tugas jadi guru.
“Alhamdulillah!” Devon akhirnya bisa bernapas lega setelah mendapatkan kursi. Disusul satu per satu siswa lain yang juga mendapat kursi. Saya melihat satu siswa masih berdiri, namanya Rizky, siswa yang berasal dari Bandung.
Rizky pun saya minta maju ke depan untuk membuka pelajaran. Rizky bisa enggak ya? Apakah setelah ini ia akan malu? Apakah ia akan merasa kesal? Berbagai pertanyaan melintas di kepala saya. Saat itu, saya berusaha mengondisikan Rizky agar nyaman dengan posisinya. Untungnya, teman-temannya mendukung posisi Rizky yang saat itu jadi guru.
“Saya harus ngapain, Zah?” tanya Rizky.
“Rizky nanti membuka kelas. Sama seperti Ustazah membuka kelas seperti biasanya. Nanti Rizky tunjuk salah seorang siswa untuk memimpin doa dan tilawah,” jelas saya kepada Rizky.
“Oke, Zah, siap.”
Wah, ternyata pikiran bahwa Rizky akan malu dan tidak mau melaksanakan tugasnya harus saya buang jauh-jauh. Rizky malah terlihat bersemangat dan penuh percaya diri. Rizky semakin menikmati posisinya sebagai guru saat seorang temannya mengingatkan cita-citanya.
“Ayo, Ki. Kan katanya kamu mau jadi guru. Nah, mumpung sekarang punya kesempatan manfaatkanlah!”
“Ustazah jadi siswa kan? Saya minta Ustazah untuk memimpin doanya,” pinta Rizky.
“Let’s pray together,” saya memimpin doa dalam Bahasa Inggris karena setiap Rabu di SMART Ekselensia Indonesia ada program English Day. Guru-guru wajib membuka pelajaran dengan Bahasa Inggris.
Setelah siswa membaca doa, Rizky langsung melanjutkan tugasnya dengan menanyakan kabar kami. “How are you this morning?”
Pertanyaan Rizky langsung kami jawab, “Alhamdulillah. Extraordinary. Keep spirit. Keep smile. Allahu Akbar!”
Tanpa saya duga Rizky langsung melanjutkan pembukaan kelas saat itu sesuai dengan kebiasaan saya. Rizky berteriak, “Physic!” Serempak kami pun menjawab, “Yes… yes… yes… we can!”
Ritual pembukaan berlanjut dengan tilawah dan sesi motivasi dan Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Siswa-siswa terlihat bersemangat. Ide spontanitas ini pun akhirnya menjadi kebiasaan saya di kelas tersebut sampai satu semester berakhir. Saya melihat ini sebagai sebuah kegiatan positif. Siswa bisa melatih rasa percaya dirinya untuk berbicara di depan teman-temannya. Dan saya melihat siswa-siswa pun menikmatinya. Setiap Rabu siang, mereka akan selalu bertanya-tanya siapakah yang akan jadi guru hari itu.