Si Pembawa Perubahan, Pemuda Sang Pemimpin Ideal
Jakarta – Memasuki fase peralihan gelar mahasiswa menjadi sarjana, ada banyak hal yang harus di siapkan. Namun dibalik hal tersebut, mahasiswa memiliki tanggung jawab sebagai Agent of Change. Mustika Rani, alumni Beasiswa Aktivis Nusantara (BAKTI NUSA), sesorang yang akan membawa perubahan terhadap segala hal, mulai dari lingkungan sekitarnya hingga bangsa dan negaranya.
“Salah satu azas yang terdapat di dalam Tridharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian masyarakat, di mana dibutuhkan jiwa sosial yang besar di dalamnya. Dalam hal ini mahasiswa wajib terjun ke dalam lembaga–lembaga mahasiswa baik itu dalam bentuk organisasi formal maupun non formal. Di dalam lembaga tersebut, mahasiswa dituntut menjadi seorang pemimpin yang memiliki sifat ideal pemimpin,” ujar Rani.
Membahas mengenai konsep pemimpin yang ideal, tentulah menarik perhatian. Pemimpin merupakan titik pusat atau tonggak yang mengatur, mengarahkan, mengorganisir, maupun mempengaruhi seseorang atau banyak orang untuk melakukan sesuatu sesuai untuk mencapai tujuan. Pemimpin merupakan sosok yang akan berada dibaris depan untuk membawa dan mengajak orang yang ada dibelakanya maupun disekitarnya untuk berjuang dalam suatu hal.
“Sosok pemimpin seperti apakah yang sebaiknya ada? Mengutip dari teori kharisma Weber yang dirumuskan oleh Bendix secara jelas mengatakan kepada kita semua, bahwa pemimpin ideal yang diidam – idamkan semua orang bukanlah seseorang yang telah memiliki kedudukan tinggi. Bukan pula para pendahulu yang selalu mengikat diri dengan kebiasaan. Melainkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan baik secara real maupun secara mental dan batin. Suatu sikap yang dapat diimplikasikan di dunia nyata, bukan hanya lewat perkataan. Mahasiswa tidak membutukan pemimpin yang demokratis tapi anarkis. Mahasiswa membutuhkan seorang pemimpin yang optimis dalam menghadapi situasi kritis yang nyaris membuat semua orang menangis. Pemimpin yang dicintai tanpa terlebih dahulu melakukan suap dan hal-hal kecil,” papar Rani.
Aristoteles seorang ahli sosial dunia mengatakan “Educating the mind without educating the heart is no education at all”. Mendidik fikiran tanpa mendidik hati, sama dengan tidak mendidik sama sekali. Oleh karna itu, kecerdasan intelektual yang memberikan ilmu pengetahuan terhadap akal dan fikiran yang bersumber dari aktivitas akademis harus diimbangi dengan kecerdasan emosional pula. Ketika kecerdasan intelektual ada, maka pemimpin akan memiliki pengetahuan dan kekuasaan. Ketika kecerdasan emosional ada, seorang pemimpin akan memiliki kebijaksanaan, kharisma dan kesadaran untuk memilih dan menentukan sesuatu sesuai dengan hati nurani.
Bukan hanya itu kecerdasan emosional menjadikan pemimpin mampu membaca kekuatan dan kelemahan orang yang dipimpinnya, mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, menghilangkan sifat introvert dengan cara bersosialisasi dan memberikan kenyamanan terhadap orang lain. Dengan adanya kecerdasan emosional pemimpin akan dengan baik mengkoordinasi, memotivasi, mendapatkan simpati, memberikan empati, menguasai situasi, menggerakkan, menyakinkan serta merealisasikan kebijakan yang akan diterapkannya. Hal tersebut adalah ciri pemimpin ideal yang dibutuhkan di era perubahan seperti saat ini.