Mengharuskan Anak Membaca Bukan Berarti Memaksa
Bogor – Sebagai Penggiat Literasi sekaligus Pengelola Sekolah Literasi Indonesia (SLI), Andi Ahmadi melihat sebagian orang tua menghindari mengharuskan anaknya membaca karena beralasan takut kalau si anak sudah besar nanti akan membenci membaca. Ia mengatakan, orang tua beranggapan bahwa aktivitas yang berangkat dari paksaaan hanya akan menimbulkan keterpaksaan dan tidak akan bertahan lama. Berdasarkan alasan tersebut akhirnya sebagian orang tua lebih memilih tidak memaksa jika anaknya tidak mau membaca.
“Kalau Anda, apakah Anda termasuk orang tua yang mengharuskan anak untuk membaca? Sekarang mari kita buat analoginya. Saat kita masih anak-anak dulu pasti pernah mengalami masa di mana kita diharuskan untuk makan siang, mandi sore, gosok gigi, mengganti pakaian, dan beberapa aktivitas lainnya. Pertanyaannya, apakah kita menjadi muak untuk melakukan itu semua? Apakah kita berhenti melakukan aktivitas itu ketika kita sudah dewasa? Jawabannya adalah tidak. Lalu, mengapa kita mengira dengan mengharuskan anak membaca akan membunuh rasa cinta mereka terhadap membaca?” tanya Andi.
Perlu dipahami bahwa mengharuskan dengan memaksa memiliki makna berbeda. Menurut KBBI, memaksa berarti menyuruh/meminta dengan paksa, atau berbuat dengan kekerasan (mendesak, menekan), sedangkan mengharuskan berarti memandang perlu atau patut. Dengan demikian mengharuskan anak membaca bukan berarti mendesak anak untuk membaca, melainkan memandang membaca adalah aktivitas yang perlu dan patut anak lakukan.
Menurut Andi cara agar meminimalkan munculnya rasa tidak suka dari kewajiban itu adalah dengan membuat kewajiban tersebut terdengar lebih menarik dan nikmat untuk dilakukan. Kaitannya dengan membaca, di sinilah peran orang tua membuat aktivitas membaca terasa menarik dan nikmat bagi anak.
“Berikut ini adalah beberapa langkah awal yang bisa kita lakukan agar saat kita mengharuskan anak membaca, mereka dengan senang hati melakukannya antara lain jadilah teladan membaca bagi anak. Anak akan mudah mengikuti jika ia melihat orang tuanya setiap hari membaca. Lebih bagus lagi kalau kita membaca pada saat yang sama ketika si anak membaca; Bacakan buku ke anak. Dengan kita membacakan buku ke anak (membacakan nyaring), anak akan mendapatan pengalaman menyenangkan berinteraksi dengan buku; Sediakan buku-buku yang menarik perhatian anak. Anak yang masih kecil biasanya tertarik dengan buku-buku yang bergambar. Bagi anak-anak kecil, melihat gambar di buku atau membalik halaman sudah berarti “membaca”,” papar Andi.
Ia menambahkan, biarkan anak memilih buku-buku yang ingin mereka baca sendiri, walaupun buku-buku itu tidak sesuai dengan standar orang tua. Jika di rumah tidak punya banyak koleksi buku bacaan, ajak anak berkunjung ke perpustakaan. Berikan apresiasi kepada anak yang telah menyelesaikan bacaannya. “Apresiasi tidak harus dengan sesuatu yang mahal. Saya biasanya mengapresiasi anak saya yang telah membaca buku dengan memberinya simbol bintang yang bisa ia tempel di tabel apresiasi; Mengharuskan/mewajibkan anak melakukan sesuatu tidak selalu berkonotasi negatif. Terkadang kita tidak punya banyak waktu untuk menunggu ketertarikan anak membaca muncul dengan sendirinya. Sebagai orang tua kita lah yang harus aktif memberikan stimulus, salah satunya dengan mengharuskan anak membaca pada waktu-waktu tertentu. Meskipun sifatnya mengharuskan, kita perlu menggunakan cara yang baik–dan tentu saja didasari dengan kasih sayang,”
Andi berharap setelah menyimak uraian singkat di atas orang tua mampu menangkap ide yang diberikan agar anak suka membaca. “Setelah menyimak uraian singkat di atas apakah ide mengharuskan anak membaca masih tidak Anda sukai? Jika iya, saya ingin memberikan dengan ungkapan Jim Trelease dalam The Read – Aloud Handbook: “Kalau Anda mengharuskan anak membersihkan kamarnya atau menggosok giginya tetapi tidak mengharuskannya membaca, maka jelas sekali Anda berpendapat kalau urusan rumah dan kebersihan diri adalah hal yang lebih penting daripada otak si anak,” tutup Andi.