Di tengah puing-puing bangunan yang tersisa pascabanjir bandang Palembayan, harapan nyaris hanyut bersama lumpur dan bebatuan. Galodo yang menerjang Kecamatan Palembayan, pada akhir November lalu, tak hanya merenggut rumah dan harta, tetapi juga meninggalkan luka yang lebih dalam: trauma pada anak-anak. Di situlah Rika Puspita berdiri—seorang ibu tiga anak yang berusia 33 tahun, guru honorer TK Al Ikhsan—menyalakan kembali cahaya di tengah gelap di Jorong Kampung Tangah Barat Nagari Salareh Ayiah Timur.

TK Al Ikhsan, tempat Rika biasa mengajar, rusak berat. Bangunan sekolah porak-poranda, buku dan alat bermain hanyut tak bersisa. Namun, di antara sisa-sisa kayu dan lumpur yang mengering, Rika masih menyisir harapan. Beberapa buku bacaan dan mainan anak yang terselamatkan ia kumpulkan, seperti menyusun kembali potongan masa depan yang nyaris hilang. Saat itulah tim Dompet Dhuafa menemuinya—menyaksikan langsung seorang guru yang menolak menyerah pada keadaan.
“Awalnya saya sendiri masih takut keluar rumah. Anak-anak saya juga masih trauma kalau dengar suara keras,” kata Rika pelan. Ketakutan itu nyata, berlapis, dan berlarut. Namun, setiap kali anak-anaknya minta ditemani saat bermain, Rika tahu satu hal: keadaan ini tak boleh dibiarkan berlarut. “Saya berpikir, tidak bisa selamanya begini. Saya harus bangkit.”
Dari pemikiran sederhana itu, lahirlah sebuah ikhtiar besar. Rika mendirikan Rumah Baca Anak Saiyo di depan rumahnya. Sebuah ruang kecil, beralaskan tikar seadanya, dinaungi terpal oranye—namun sarat makna. Tempat itu ia niatkan sebagai ruang aman, tempat anak-anak bisa kembali tertawa, bermain, dan belajar; pelan-pelan memulihkan trauma yang mereka alami.
Ternyata, ketakutan itu bukan hanya milik anak-anaknya. Anak-anak di sekitar rumah, termasuk murid-murid TK Al Ikhsan, mengalami hal yang sama. Rumah Baca Anak Saiyo pun segera menjadi magnet harapan. Untuk mewujudkannya, Rika menghubungi keluarga di Batam. Dalam waktu satu hari, terkumpul donasi Rp2 juta—ikhtiar gotong royong yang menjadi titik balik. Dari uang itu, ia memesan buku bacaan dan alat bermain dari Bukittinggi.
Dua minggu setelah banjir bandang menghantam kampung halaman mereka, Rumah Baca Anak Saiyo resmi dibuka. Setiap hari, pukul 16.00 hingga 18.00 WIB, sekitar 50 anak berkumpul di halaman rumah Rika. Mereka membaca, bermain, dan—yang terpenting—belajar percaya lagi pada hari esok.
Semangat itu perlahan tumbuh. Harapan kembali menyala. Bantuan pun mulai berdatangan. Dompet Dhuafa hadir memberi dukungan pada hari kedua rumah baca dibuka—menguatkan langkah kecil yang telah memberi dampak besar.
Bagi Rika, rumah baca ini bukan sekadar tempat singgah. Ia berharap, di ruang sederhana itu, anak-anak bisa kembali menemukan kemandirian, kepercayaan diri, dan semangat belajar yang sempat runtuh. Ia juga menyimpan harapan besar: agar sekolah TK dan PAUD dapat dibangun kembali di lokasi yang lebih aman. “Kami masih takut jika didirikan di tempat yang sama,” ujarnya. “Semoga sekolah kami segera dibangun, agar saya bisa kembali mengajar dan anak-anak punya tempat yang layak untuk menuntut ilmu.”
Di luar perannya sebagai guru honorer, dihari biasa Rika juga membantu suaminya berjualan sate setiap sore. Hidup tak pernah benar-benar ringan. Namun, dari kesederhanaan itu, Rika membuktikan bahwa keteguhan hati bisa melampaui bencana.
Di Palembayan, di bawah terpal oranye dan di atas tikar seadanya, cahaya itu kini menyala. Bukan cahaya listrik atau bangunan megah, melainkan cahaya harapan—yang lahir dari keberanian seorang ibu, seorang guru, yang memilih bangkit demi masa depan anak-anaknya. (Hendri Ipos)